Oleh ; Hariyanto
Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Bunda Daswatia di Grup RVL Selasa 1 Juli 2025,
yang menuturkan bahwa tugas penulis
pentigraf adalah menyajikan fakta yang sudah diolah menjadi fakta baru, yaitu
fakta imajinasi. Fakta baru ini memungkinkan untuk dikembangkan menjadi banyak
tulisan dengan formula “matematika” yaitu menggunakan variable, dan mengubah
variabelnya sehingga memungkinkan menghasilkan berbagai variable. Dengan contoh
tulisan bertokoh Bu Endang menjadi
Tukang Penambal Ban dengan tema sama
kebohongan Ijazah.
Intinya “ Jika variable Bu Endang itu saya
substitusikan dengan variable lain , maka saya akan menghasilkan pentigraf
sebanyak variable yang saya inginkan.” Demikian tulisnya. Beliau mengaku sudah
mencoba dan sukses.
Karena itu saya pun mencoba menerapkannya dan
saya sebut sebagai Latihan (menulis) pentigraf.
Berikut penjelasannya .
Sampai saat ini saya belum menemukan buku
panduan khusus berlatih menulis
pentigraf, kecuali pedoman yang ditulis
Tengsoe Tjahjono “Berumah dalam Sastra 3’
dan “Meneroka Dapur Pentigraf.” Mungkin pembaca sudah ada yang menemukan ? Kedua
buku itu ditulisa saling melengkapi, selain untuk mengenal teori sastra, juga
pentigraf disajikan banyak contoh di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya apakah
kita cukup dengan membaca kedua buku lalu membuat kita piawai menulis pentigraf
? Jawabannya pasti berbeda-beda.
Ada yang belum pernah sama sekali, membaca
kedua buku tersebut, nyatanya bisa menulis dengan baik, ada pula yang sudah
membacanya menjadikannya lebih baik. Tetapi satu hal yang pasti adalah berlatih
menulis pentigraf adalah jalan keluar paling baiknya. Hal ini sering disampaikan oleh Tengsoe dalam
berbabagai kesempatan pelatihan zoom. Berlatih dan berlatih.
Bahan tulisan sudah ada, yaitu berbagai fakta
di sekitar kita, beberapa periristiwa viral, mencekam dan dramatis selalu ada
setiap hari. Ada di media sosial dan kehidupan sehari-hari. Semua tersedia, dan
adakah yang meragukan keberadaannya ? Selangkah lagi mengolah dengan
ketrampilan bahasa dibalut pengalaman hidup, dijadikan fakta imajinasi dan
disusun dalam 3 paragraf. Begitu sederhananya jalan kepenulisan sebuah
pentigraf itu terjadi.
Masih ragu menulis dan belum juga memahami
sepenuhnya. Melalui grup RVL banyak
pentigrafis (= (=Sebutan penulis pentigraf) selalu bersedia memberi solusi. Bunda Daswatia salah satunya, dapat
dikatakan berkarya menulis pentigraf setiap
hari dan selalu bisa kita baca bersama. Beliau juga sering tanpa diminta
menjelaskan berbagai formulanya. Bunda Astuti termasuk duo pang yang tak kalah
produktifnya, mereka semua bisa menulis pentigraf sehari lebih dari 1, bahkan
dalam grup latihan tak jarang 4 sampai 5 karya bisa muncul. Dan satu catatan disini, mereka selalu
berlatih dan berlatih.
Apakah ada buku panduan praktisnya? Sama
seperti kegiatan menulis lainnya, penduan menulis umumnya sama, walau tujuannya
berbeda, misal menulis cerpen,novel,puisi,berita dll. Dan pedoman umum ini
banyak ditulis oleh founder kita Moch Khoiri dengan berbagai buku antara lain SOS
( Sopo Ora SIbuk) tetap saja harus banyak berlatih kunci untuk menjadi penulis
handal termasuk pentigraf . Pesan baiknya di buku SOS antara lain :
Bagaimanapun menulis di
tahap awal selalu sulit. Percayalah jika dilatih secara terus menerus akan
menjadi sempurna. Niat menulis yang kuat menjadi energi dahsyat untuk melampaui
rintangan dan tantangan dengan gemilang. Buku ini banyak memberikan inspirasi
yang tak pernah basi. Segalanya berubah tatkala Anda berubah. Tetap semangat,
jangan terlena. Menulis itu berbagi. Berbagi itu beramal jariyah. Amal jariyah
ilmu tiada putus. Buku ini juga memberikan penguat, berkaryalah dengan sepenuh
hati. Jangan terlalu terikat dengan aturan menulis. Mulailah menulis, biarkan
mengalir sampai jauh.
Bagaimana bisa menangkap ide fakta dan
sekaligus menulisnya dengan kritis dalam bentuk pentigraf ? Bagaimana model
latihannya. Sebenarnya ini berdasarkan pengalaman, dan atau bahkan saya sempat membaca
tulisan Bunda Daswatia di grup ini tentang kisah belajar menulisnya pada Abah
Khoiri founder grup kita, Bagaiamana membuat tulisan kita semakin tajam, dan
bagaimana model latihannya. Saya bocorkan rahasianya disini.
1) Langkah
pertama, buatlah satu tema tertentu dan satu topik tertentu pada tulisan pentigraf.
2) Langkah
kedua, dari pentigraf pertama, pikirkannya beberapa tokoh yang terlibat di
dalamnya, termasuk badan atau pun hal pengaruh lainnya yang ada di cerita
tersebut.
3) Langkah
ketiga, dari jumlah yang ditemukan di langkah 2 tersebut, jadikan sejumlah
pentigrafnya. Jadi misalkan menemukan 4 tokoh atau termasuk Lembaga maka
buatkan 4 pentigrafnya. Buatkan pentigraf dari sudat pandang masing-masing tokoh
tersebut.Hasilnya …..? Nanti akan kita temukan tulisan mirip ceritanya tapi akan tetap dikenali
perbedaannya karena perbedaan sudut pandang.
4)
Langkah
2 dan 3 di atas bisa disederhanakan menjadi 2 jika ingin simple yaitu cerita
dari sudat pandang orang 1 dan orang ke 2. Maka mulai sekarang berpikirlah jika menulis satu pentigraf, pikirkanlah satu lagi dari sudut pandang ke 2, sehingga minimal ada 2 pentigraf.
5) Segeralah
mencoba dan setelah sering berlatih insyaAllah akan menemukan ketrampilan yang
menyenangkan, yaitu kemudahan mengolah pentigraf dari berbagai sudut pandang
Ini adalah resep yang mungkin tidak
tertulis di buku pedoman berlatih pentigraf, tapi percayalah sudah dilakukan oleh pentigrafis yang selalu
belajar dan belajar, berlatih dan berlatih.
Berikut materi pentigraf untuk Latihan:
Saya sajikan 1 judul , 1 tema dan 2
sudut pandang…..Tantangannya adalah buatlah satu atau lebuh lagi dari sudut
pandang yang berbeda.
Pentigraf Latihan :
Judul ;
Mimbar Terlarang
Tema :
Keadilan
Penti yang sudah dibuat dari 2 sudut pandang :
Pengurus Masjid dan Aparat.
Tugas buatlah 1 atau lebih dari sudut pandang
yang berbeda…
Ada alternatif jawaban sudut pandang yang bisa
dibuat
1. Dari sudut pandang Pengurus masjid
2. Dari sudut pandang Perusahaan
3. Dari sudut pandang jamaah
SELAMAT MENCOBA.
SEMOGA BERMANFAAT. AAMIIN.
Bagu, Lombok Tengah, 3 Juli 2025.
LAMPIRAN
TUGAS;
1. Sudut pandang Ustadz
Mimbar
Terlarang
Karya:
Hariyanto
Aku berdiri di mimbar itu bukan untuk mencari musuh,
tapi untuk menyampaikan amanah. Ayat-ayat tentang keadilan dan tanggung jawab
manusia atas bumi bukan sekadar bacaanitu peringatan. Maka aku bicara tentang
tambang, tentang tanah yang digadai demi keuntungan segelintir orang, tentang
rakyat yang kehilangan hak atas air dan udara. Aku tahu risikonya. Tapi diam
adalah pengkhianatan.
Ketika mereka datang malam itu, aku sudah siap.
Tak ada perlawanan, hanya doa dalam hati agar kebenaran tetap hidup. Di ruang
tahanan, aku mendengar kabar: ceramahku menyebar, anak-anak muda mulai
bertanya, masyarakat mulai bersuara. Aku tersenyum. Ternyata, mimbar yang
mereka larang justru membuka lebih banyak ruang untuk suara-suara lain tumbuh.
Kini aku berceramah di teras rumah, di sawah,
di warung kopi. Tak ada pengeras suara, tapi ada telinga yang lebih terbuka.
Aku tak menyesal. Karena aku percaya, selama bumi masih berputar dan langit
masih bersaksi, kebenaran akan selalu menemukan jalannya meski harus melewati
jalan terjal.
2. Sudut Pandang Aparat
Mimbar
Terlarang
Karya:
Hariyanto
Aku berdiri
di barisan belakang masjid saat Ustadz Rahman berceramah. Bukan karena ingin
mendengar, tapi karena tugasku memantau. Ia bicara tentang tambang, tentang
kerakusan, tentang keadilan yang dibungkam. Kata-katanya tajam, tapi tak ada
kebencian, hanya kejujuran yang menyakitkan. Aku tahu atasan tak akan suka. Dan
benar saja, malam itu perintah turun: tangkap dia, segera.
Aku ikut
dalam tim penjemputan. Ustadz Rahman tak melawan. Ia hanya tersenyum dan
berkata, “Saya sudah tahu ini akan datang.” Di dalam mobil, suasana hening. Aku
ingin bertanya, ingin bilang bahwa aku hanya menjalankan tugas. Tapi entah
kenapa, rasanya seperti mengkhianati sesuatu yang lebih besar dari perintah.
Beberapa
minggu kemudian, ceramahnya viral. Nama Ustadz Rahman jadi simbol perlawanan.
Dan aku, yang dulu merasa netral, mulai merasa bersalah. Aku lihat warga mulai
bergerak, mahasiswa turun ke jalan, dan bahkan beberapa rekan mulai
mempertanyakan perintah. Di dalam diam, aku tahu: kadang, menjaga ketertiban
bukan berarti menegakkan keadilan.