Rabu, 13 Agustus 2025

Pentigraf : Bambu Runcing dan Doa Ibu



Oleh : Hariyanto


Di tengah kobaran semangat jihad yang menggema dari masjid-masjid Surabaya, Suryono berdiri di halaman pesantren dengan bambu runcing di tangan. Ia bukan santri, tapi datang dari kampung sebelah, terpanggil oleh seruan ulama: “Berjihad melawan penjajah adalah kewajiban!” Bambu runcingnya telah diberi doa oleh Kiai Hasyim, yang memimpin para pemuda dengan takbir dan keberanian. Di belakangnya, Bu Lastri, sang ibu, menatap dengan rasa kuatir.


Sebelum berangkat Bu Lastri memeluk erat Suryono. “Kalau kau gugur, gugurlah sebagai pejuang,” katanya sambil menyelipkan kain doa ke dalam saku anaknya. Di jalanan Surabaya, suara mortir dan senapan mesin Sekutu menggema. Tapi para pejuang tak gentar. Mereka hanya bersenjata bambu runcing, semangat kemerdekaan, dan keyakinan bahwa jihad mereka suci. Suryono berlari bersama ratusan pemuda, menerjang tank dan peluru dengan takbir yang menggema lebih nyaring dari ledakan.


Malam itu, Bu Lastri duduk di beranda rumah yang mulai retak oleh getaran bom. Ia tak tahu apakah anaknya masih hidup. Tapi ia tahu, doa para ibu dan restu para ulama telah menjadikan bambu runcing itu lebih tajam dari baja. Pagi harinya, seorang santri datang membawa kabar: Suryono selamat, meski terluka. Bu Lastri menangis, bukan karena luka anaknya tapi karena tahu anaknya telah menjadi bagian dari sejarah Surabaya yang tak akan pernah dilupakan.


Bagu, Loteng, 13 Agustus 2025


2 komentar: