Salam Literasi.
Judul ini mungkin sulit dipahami jika tidak paham bahasa Jawa. Ada istilah "katut" jika diterjemahkan berarti ikut, tersangkut, ikut termasuk karyanya, berhasil nyangkut karyanya, dan di kamus artinya terbawa (berasal dari bahasa Jawa).
Alhamdulillah , kembali saya mendapatkan nikmat seperti menang lomba menulis pentigraf . Sejak awal tahun ini ajakan menulis bersama karya Pentigraf dalam memeriahkan ulangtahun ke 5 KPI (Kampung Pentigraf Indonesia) di FB beranggotakan 2800 lebih. Kampung yang diasuh oleh penggagas Pentigraf. Prof. Tengsoe Tjahjono berulang tahun ke 5 tepat 18 April 2021 memberi tantangan untuk menulis Kitab Pentigraf bersama dalam tema "Pahlawan Di Sekitarku." Lomba yang semula ditutup 31 Maret sempat sebulan kemudian dan dikurasi baru diumumkan yang lolos 15 Mei 2021. Ada jeda lagi untuk yang ingin revisi karyanya yang belum lolos. Nah inilah kesempatan, Begitu pikirku bergerak ingin meloloskan satu lagi karena merasa dibuang sayang. Ada nilai historisnya,
Sekitar 137 pentigrafis lolos kurasi,setelah ada perpanjangan menjadi sekitar 151 lolos.
Dari semula lolos satu karya di tanggal 20 Mei menjadi 2 karyaku yang lolos.
Satu hal yang ingin saya ceritakan kisahnya disini adalah bagaimana membuat karya pentigraf kita bisa lolos antara lain : menghindari deskripsi. Ya. banyak sahabat penulis pentigraf kali ini termasuk saya menulis tema Pahlawan di Sekitarku lalu terjebak dan fokus pada satu tokoh orang yang berjasa. Lalu mendapat berbagai anugerah dll. Hal itu bisa benar dan realitas, tetapi akhirnya menjebak penulis untuk menceritakan secara runtut. Jadilah sebuah deskripsi. Bahkan kadang semacam curhat.
Itu pelajaran yang saya dapatkan dari WAG pentigrafis yang diberi komentar oleh Prof. Tengsoe Tjahjono. Bagaimana menghindari agar pentigraf kita tidak terjebak menjadi sebuah deskripsi saja. Itulah masalahnya. Jelas bagi mereka yang berbakat menulis cerita fiksi bahkan novel akan gampang menuangkan ide dengan bahasa bagus. Mengubah realitas menjadi realitas baru yang lebih menantang.u Tapi bagi penulis pemula. Tentu lain masalah.
Saya bersyukur melalui arahan yang telaten dari "sang Guru," Prof Tengsoe bisa merubah karyaku yang tidak lolos menjadi lolos.
Ada beberapa catatan yang penting dari sang Guru, antara lain : "Ini baru deskripsi Bapak, tidak ada konfliknya." Jadilah saya baca kembali karya saya berulang-ulang memikirkan konflik apa yang bisa disisipkan. Ini yang dimaksud masih dekripsi'
Pentigraf Tangisan Pak Rahmat (revisi 1)
Sungguh ramai rumah pak Rahmat hari ini. Saat Puasa bertepatan liburan panjang sekolah, dua putranya pulang. Rumah yang masih model lama, tidak terlalu lebar dan dengan penerangan listrik seadanya. Bukannya pak Rahmat tidak peduli, tetapi beliau biasa tinggal apa adanya karena hanya berdua di usia senjanya bersama isteri tercinta.
Tawa ria anak dan cucunya di rumah itu merubah suasana. Rumah yang biasa sepi dan lampu redup 10 watt LED lama kini diganti 20 Watt. Keceriaan keluarga pak Rahmat begitu sempurna dengan hadirnya 3 cucu dari dua putranya. Mereka semua tampak sehat karena asupan anak sekarang penuh gizi. Beda dengan anaknya puluhan tahun lalu makan cukup dengan nasi tiwul. Senyum pak Rahmat dan isterinya mulai ceria hari ini. Sungguh beda dari hari biasanya, seakan senyuman itu mahal harganya.
Ketika cucunya sudah tidur semua justeru pak Rahmat mulai mencucurkan air mata.Beliau sangat bersyukur melihat anak cucunya yang sehat , bersih dan ceria. Mereka mempunyai jabatan di Jakarta dan satunya di Kalimantan. Mereka mendapat pekerjaan sesuai ijazah S 1 dan S 2 nya. Bayangan 20 tahun lalu etika diejek Kakak Iparnya muncul,” Jadi tukang jahit tidak usah berpikir muluk, apalagi menguliahkan anaknya modal ndak gablek saja “( = tidak punya bs, Jawa ). Tangisnya bertambah melihat kenyataan 3 putra kakak Iparnya yang kini kerja serabutan dan tidak pernah mengenyam bangku kuliah.
Namun lagi-lagi mendapat catatan :" Paragraf 3 seperti dibuat-buat. Yang kaya bangkrut , anaknya nggak kuliah. Anak penjahit sukses. Prosesnya tak terilhat natural." Mendapat catatan seperti itu seperti militer saja saya jawab siap edit kembali.....hingga pada akhirnya tetap beliau membantu mengedit paragrah 1 dan 2, saya pun berusaha memberi warna di paragraf ke 3 yang biasanya harus ada kejutan. Saya mencoba saat itu juga menjawab tantangan mengedit khusus paragraf 3 dan alhamdulillah lolos. Begini wujud akhirnya.
TUKANG JAHIT
oleh; Hariyanto
Sebagai tukang jahit di kampung penghasilan Rahmat tidak memadai untuk hidup bersama tiga anaknya. Apalagi sang isteri hanyalah pembantu pedagang di pasar. Keadaan itu membuat dalam sehari cukup makan sekali saja. Itu pun dengan nasi tiwul.
Tetangganya yang terpandang dan kaya ternyata risih dengan keluargan Rahmat. Mereka selalu mengejek baik dengan perkataan maupun perbuatan. Sore ini anaknya sengaja makan sate di depan anak-anaknya. Hal itu membuat anak Rahmat merengek ingin dibelikan, bahkan mogok mengaji sore ini. Kalimat yang diingatnya,” Jadi tukang jahit tidak usah bermimpi menguliahkan anaknya modal ndak gablek saja ( = tidak punya bs, Jawa ).” Menangis hati Rahmat saat itu, isterinya memintanya bersabar.
Dua puluh tahun kemudian di satu siang, Pak Rahmat terlihat sedang tafakur di masjid Istiqlal. Sama seperti di kampungnya selalu menyempatkan diri sholat di masjid. Kali ini putra sulungnya membawanya ke Jakarta untuk beberapa waktu. Sambil khusuk berdoa terlintas bayangan tetangga seterunya. Wajah yang dulu perkasa kini tergolek lemah di tempat tidurnya. Tangisan penuh penyesalan minta maaf di depan pak Rahmat saat dikunjunginya. Sekelebat wajah bengisnya muncul secepat Pak Rahmat menutup doa untuk kesembuhannya. Aamiin
Blitar , 20 Mei 2021
Dan kini kami sedang menunggu bukunya dengan judul indah ." Kitab Cerpen Tiga Paragraf. Nama-Nama yang Dipahat di Batu Karang."
Blitar, 23 Mei 2021 edisi syukur
@by hariyanto
Keren sekali. Ternyata, proses pun harus terlihat natural dan tdak dipasakan.
BalasHapusMembaca dua buah pentigraf dengan tema sama tetapi dengan setting yang berbeda menambah perbendaharaan pemahaman akan pentigraf.
Terima kasih, admin!
Terimakasih apresiasinya pak D. Saya mencoba menemukan misteri Pentigraf. Dalam cerita yang cuma 3 paragraf harus memberi konflik dan hak mengejutkan namun natural.....itu ternyata tidak mudah bagi pemula.... salam literasi
HapusSae sak estu.... ternyata serumah di RVL. salam ta'aruf
BalasHapusNggih Bung Usdhof. salam kenal... salam literasi
HapusPingin belajar nulis pentigraf juga.. Pernah ikut antologi pentigraf. Namyn blm merasa puas dg tulisan saya sendiri... Terimakasih pak tulisannya.
BalasHapusBenar-benar terlihat berbeda meskipun menceritakan peristiwa yang sama. Jadi ingin lebih tahu tentang pentigraf. Sukses selalu pa
BalasHapusTerimakasih Bu. Salam literasi
HapusTambahan ilmu yang sangat bermanfaat. Menulis pentigraf pun harus terlihat natural,jangan dipaksakan..
BalasHapusBetul pak Irien. Salam literasi
HapusProses tak menghianati hasil. Selamat pak Hari, mudah2an karya selanjutkan akan terus semakin hebat.
BalasHapusTerimakasih Bu. Salam literasi
HapusBelajar pentigraf dari murid penggagas pentigraf.
BalasHapusTerasa perbedaan kedua pentigraf ketika dibaca.
Terimakasih sudah berbagi Pak...
Sehat selalu
Salam Bung Indra.....
BalasHapusTerimakasih pak Hariyanto jadi nambah ilmu
BalasHapusTerimakasih sudah berbagi ilmu.
BalasHapuspentigraf...yang belum pernah saya coba
BalasHapuskonfliknya punya seni tersendiri
terima kasih pak sudah berbagi