Rabu, 02 Juli 2025

LATIHAN MENULIS PENTIGRAF



 Oleh ; Hariyanto 

Sampai saat ini saya belum menemukan buku panduan khusus  berlatih menulis pentigraf,  kecuali pedoman yang ditulis Tengsoe Tjahjono  “Berumah dalam Sastra 3’ dan “Meneroka Dapur Pentigraf.” Mungkin pembaca sudah ada yang menemukan ? Kedua buku itu ditulisa saling melengkapi, selain untuk mengenal teori sastra, juga pentigraf disajikan banyak contoh di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya apakah kita cukup dengan membaca kedua buku lalu membuat kita piawai menulis pentigraf ? Jawabannya pasti berbeda-beda.

Ada yang belum pernah sama sekali, membaca kedua buku tersebut, nyatanya bisa menulis dengan baik, ada pula yang sudah membacanya menjadikannya lebih baik. Tetapi satu hal yang pasti adalah berlatih menulis pentigraf adalah jalan keluar paling baiknya.  Hal ini sering disampaikan oleh Tengsoe dalam berbabagai kesempatan pelatihan zoom. Berlatih dan berlatih.

Bahan tulisan sudah ada, yaitu berbagai fakta di sekitar kita, beberapa periristiwa viral, mencekam dan dramatis selalu ada setiap hari. Ada di media sosial dan kehidupan sehari-hari. Semua tersedia, dan adakah yang meragukan keberadaannya ? Selangkah lagi mengolah dengan ketrampilan bahasa dibalut pengalaman hidup, dijadikan fakta imajinasi dan disusun dalam 3 paragraf. Begitu sederhananya jalan kepenulisan sebuah pentigraf itu terjadi. 

Masih ragu menulis dan belum juga memahami sepenuhnya. Melalui grup RVL  banyak pentigrafis (= (=Sebutan penulis pentigraf) selalu bersedia memberi  solusi. Bunda Daswatia salah satunya, dapat dikatakan berkarya menulis pentigraf  setiap hari dan selalu bisa kit abaca Bersama. Beliau juga sering tanpa diminta menjelaskan berbagai formulanya. Bunda Astuti terasuk duo pang yang tak kalah produktifnya, mereka semua bisa menulis pentigraf sehari lebih dari 1, bahkan dalam grup Latihan tak jarang 4sampai 5 karya bisa muncul.  Dan satu catatan disini, mereka selalu berlatih dan berlatih.

Apakah ada buku panduan praktisnya? Sama seperti kegiatan menulis lainnya, penduan menulis umumnya sama, walau tujuannya berbeda, misal menulis cerpen,novel,puisi,berita dll. Dan pedoman umum ini banyak ditulis oleh founder kita Moch Khoiri dengan berbagai buku antara lain SOS ( Sopo Ora SIbuk) tetap saja harus banyak berlatih kunci untuk menjadi penulis handal termasuk pentigraf . Pesan baiknya di buku SOS antara lain :

Bagaimanapun menulis di tahap awal selalu sulit. Percayalah jika dilatih secara terus menerus akan menjadi sempurna. Niat menulis yang kuat menjadi energi dahsyat untuk melampaui rintangan dan tantangan dengan gemilang. Buku ini banyak memberikan inspirasi yang tak pernah basi. Segalanya berubah tatkala Anda berubah. Tetap semangat, jangan terlena. Menulis itu berbagi. Berbagi itu beramal jariyah. Amal jariyah ilmu tiada putus. Buku ini juga memberikan penguat, berkaryalah dengan sepenuh hati. Jangan terlalu terikat dengan aturan menulis. Mulailah menulis, biarkan mengalir sampai jauh.

Bagaimana bisa menangkap ide fakta dan sekaligus menulisnya dengan kritis dalam bentuk pentigraf ? Bagaimana model latihannya. Sebenarnya ini berdasarkan pengalaman, dan atau bahkan saya sempat membaca tulisan Bunda Daswatia di grup ini tentang kisah belajar menulisnya pada Abah Khoiri founder gruo kita, Bagaiamana membuat tulisan kita semakin tajam, dan bagaimana model latihannya. Saya bocorkan rahasianya disini.

1)      Langkah pertama, buatlah satu tema tertentu dan satu topik tertentu pada Tulisa pentigraf.

2)      Langkah kedua, dari pentigraf pertama, pikirkannya beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya, termasuk badan atau pun hal pengaruh lainnya yang ada di cerita tersebut.

3)      Langkah ketiga, dari jumlah yang ditemukan di Langkah 2 tersebut, jadikan sejumlah pentigrafnya. Jadi misalkan menemukan 4 tokoh atau termasuk Lembaga maka buatkan 4 pentigrafnya. Buatkan pentigraf dari sudat pandang masing-masing tokoh tersebut.Hasilnya …..? Nanti akan kita temukan tulisan  mirip ceritanya tapi akan tetap dikenali perbedaannya karena perbedaan sudut pandang.

4)      Langkah 2 dan 3 di atas bisa disederhanakan menjadi 2 jika ingin simple yaitu certita dari sudat pandang orang 1 dan orang ke 2.

5)      Segeralah mencoba dan setelah sering berlatih insyaAllah akan menemukan ketrampilam yang menyenangkan, yaitu kemudahan mengolah pentigraf dari berbagai sudut pandang

Ini adalah resep yang mungkin tidak tertulis di buku pedoman berlatih pentigraf, tapi percayalah  sudah dilakukan oleh pentigrafis yang selalu belajar dan belajar, berlatih dan berlatih.

 

Berikut materi pentigraf untuk Latihan:

Saya sajikan 1 judul , 1 tema dan 2 sudut pandang…..Tantangannya adalah buatlah satu atau lebuh lagi dari sudut pandang yang berbeda. 

 


Pentigraf Latihan :

Judul ;  Mimbar Terlarang

Tema  : Keadilan

Penti yang sudah dibuat dari 2 sudut pandang : Pengurus Masjid dan Aparat.

Tugas buatlah 1 atau lebih dari sudut pandang yang berbeda…

Ada alternatif jawaban sudut pandang yang bisa dibuat

1.       Dari sudut pandang Ustadz

2.       Dari sudut pandang Perusahaan

3.       Dari sudut pandang jamaah

 

SELAMAT MENCOBA.

SEMOGA BERMANFAAT. AAMIIN.

 

Bagu, Lombok Tengah, 2 Juli 2025.

 

LAMPIRAN  TUGAS;

 

1.       Sudut pandang Pengurus masjid

 

Mimbar Terlarang

Karya: Hariyanto

 

Aku yang dulu mengundang Ustadz Rahman ke masjid kami. Ceramahnya selalu penuh makna, jamaah makin ramai, dan suasana masjid hidup kembali. Tapi hari itu, saat ia bicara tentang tambang dan keadilan, aku tahu kami sedang melangkah di tanah yang retak. Ia menyebut nama-nama besar, menyentil kekuasaan, dan aku bisa merasakan udara di dalam masjid berubah tegang.

 

Keesokan harinya, telepon dari pejabat datang. Nada mereka halus, tapi jelas: “Jangan undang dia lagi.” Lalu aparat datang, dan Ustadz Rahman dibawa pergi. Aku merasa seperti pengecut saat menghapus namanya dari daftar penceramah. Beberapa jamaah bertanya, tapi aku hanya menjawab, bahwa kita cari yang lebih aman. Dalam hati, aku tahu itu bukan jawaban, tapi pelarian.

 

Kini, ceramahnya tersebar di mana-mana. Masjid kami kembali sepi, bukan karena tak ada penceramah, tapi karena tak ada keberanian. Dan aku, yang dulu merasa menjaga ketertiban, mulai sadar bahwa aku telah mengorbankan kebenaran demi kenyamanan. Mungkin mimbar itu memang terlarang bagi suara jujur tapi justru karena itulah, suaranya tak pernah benar-benar hilang.

 

2.       Sudut Pandang Aparat

 

Mimbar Terlarang

Karya: Hariyanto

 

Aku berdiri di barisan belakang masjid saat Ustadz Rahman berceramah. Bukan karena ingin mendengar, tapi karena tugasku memantau. Ia bicara tentang tambang, tentang kerakusan, tentang keadilan yang dibungkam. Kata-katanya tajam, tapi tak ada kebencian, hanya kejujuran yang menyakitkan. Aku tahu atasan tak akan suka. Dan benar saja, malam itu perintah turun: tangkap dia, segera.

 

Aku ikut dalam tim penjemputan. Ustadz Rahman tak melawan. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Saya sudah tahu ini akan datang.” Di dalam mobil, suasana hening. Aku ingin bertanya, ingin bilang bahwa aku hanya menjalankan tugas. Tapi entah kenapa, rasanya seperti mengkhianati sesuatu yang lebih besar dari perintah.

 

Beberapa minggu kemudian, ceramahnya viral. Nama Ustadz Rahman jadi simbol perlawanan. Dan aku, yang dulu merasa netral, mulai merasa bersalah. Aku lihat warga mulai bergerak, mahasiswa turun ke jalan, dan bahkan beberapa rekan mulai mempertanyakan perintah. Di dalam diam, aku tahu: kadang, menjaga ketertiban bukan berarti menegakkan keadilan.

 


Pentigraf : Mimbar Terlarang




 Oleh : Hariyanto

Di sebuah masjid tua di kota tambang, Ustadz Rahman berdiri di mimbar dengan suara bergetar oleh semangat. Ia berbicara tentang keadilan dalam mengelola hasil bumi, menyoroti kerakusan perusahaan tambang yang merusak alam dan menindas rakyat kecil. “Bumi ini bukan milik korporasi,” serunya, “tetapi amanah dari Tuhan untuk dijaga bersama.” Jamaah terdiam, sebagian tertegun, sebagian lainnya menunduk dalam renungan.

 

Tak lama setelah ceramah itu, Ustadz Rahman ditangkap. Tuduhan menyebarkan provokasi dijadikan alasan, dan namanya dicoret dari daftar penceramah tetap. Masjid yang dulu menyambutnya kini menutup pintu. Namun, rekaman ceramahnya yang tersebar di media sosial justru membangkitkan kesadaran publik. Suaranya menggema lebih luas, memicu diskusi, aksi, dan tekanan terhadap perusahaan tambang yang selama ini tak tersentuh.

 

Meski tak lagi berdiri di mimbar resmi, Ustadz Rahman tak kehilangan semangat. Ia mengisi pengajian di rumah-rumah warga, di warung kopi, bahkan di tepi sungai yang tercemar. Senyumnya tetap hangat, matanya tetap tajam. “Selama masih ada yang mau mendengar,” katanya, “saya akan terus bicara.” Kini ia tumbuh menjadi simbol keteguhan bahwa kebenaran tak butuh panggung mewah untuk bersinar


Bagu Loteng, 2 Juli 2025

Selasa, 01 Juli 2025

Pentigraf : Pengantar Tanpa Nama



Oleh: Hariyanto

 

Hujan sejak pagi, dan banjir melumpuhkan beberapa  jalanan. Beberapa kendaraan mogok karena tak mampu melewati genangan air.  Pak Rafi, seorang guru tua yang bersikeras datang ke rapat penting, berdiri resah di pinggir jalan. Motornya ikut mogok,. Dia berusaha minta tolong, namun beberapa pengenadara motor lewat begitu saja. Ia memejamkan mata sejenak, sambil menahan dingin bertanya dalam hati apakah semua perjuangan ini ada artinya.

 

Tiba-tiba, sebuah motor tua berhenti. Tanpa banyak bicara, pengendara muda bertubuh kurus itu menawarkan tumpangan. Wajahnya samar di balik helm dan hujan. Ia hanya berkata bahwa siap mengurus motornya dan mengantar dulu sebelum kembali. Pak Rafi naik, masih bingung mengapa orang asing itu begitu rela menolongnya, padahal sedari tadi berusaha minta pertolong pengendara lain tidak pernah berhasil. Sepanjang jalan, mereka nyaris diam. Hanya suara mesin dan guyuran hujan yang mendominasi.

 

Begitu tiba di kantor dinas, si pengendara membuka helmnya. Wajah itu muncul seperti teka-teki yang tiba-tiba terpecahkan. Damar, siswa yang dulu selalu melawan aturan, tersenyum dengan mata berkaca. “Pak, motor Bapak saya kenali dari platnya. Saya selalu ingat Bapak pernah bilang: hidup harus punya manfaat.” Di tengah derasnya hujan, Pak Rafi sadar hari itu, ia tidak hanya menumpang motor, tapi menumpang takdir baik yang tak pernah ia sangka.


Bagu Loteng, 1 Juli 2025