Minggu, 11 Desember 2022

RESENSI BUKU RESITAL MUSIM

 

Oleh : Hariyanto

Judul Buku               : Resital Musim Kitab Puisi Tiga Bait

Penulis                      : Komunitas Putiba Indonesia

Editor                          : Tengsoe Tjahjono

Penerbit                     : DELIMA, Sidoarjo,  cetakan 1 ,2022

Kode QRSBN           : 62-1263-0813-963

Jumlah halaman      : xviii + 288 halaman

Harga Buku              : Rp,85.000

            Buku dengan judul Resital Musim kali ini adalah sebuah buku antologi puisi yang dikumpulkan oleh pecinta puisi di bawah asuhan Tengsoe Tjahjono. Pemilihan kata “musim” ada kaitannya erat dengan tema yang disajikan yaitu “kalender” yang bisa diartikan pertukaran musim, pertukaran waktu, baik detik, jam, hari  maupun bulan dan tahun. Sedang kata Resital menurut wikipedia berarti pertunjukan musik yang biasanya ditunjukkan karena seseorang atau suatu grup musik telah mempelajari beberapa lagu baru dan ingin menunjukan kebolehannya di publik. Lagu yang dimainkan bisa lagu ciptaan sendiri maupun lagu ciptaan orang lain.

            Membaca buku kumpulan puisi seperti ini memang harus dipahami dulu jenis puisi yang ada di dalamnya. Sub Judul buku ini merujuk katagori puisinya Kitab Puisi Tiga Bait, yang dikenal dengan akronim putiba. Buku ini dihimpun dari 92 penulis dan  lebih dari 200 puisi tersaji di dalamnya.Buku ini langsung dieditori oleh Tengsoe Tjahjono, penyair, budayawan, dosen dan sekaligus pendiri Komunitas Teras Putiba Indonesia.

            Dalam buku,”Berumah dalam Sastra 3” karya Tengsoe Tjahjono dijelaskan bahwa putiba adalah merupakan kependekan dari puisi tiga bait. Putiba merupakan jenis puisi modern yang memiliki bentuk ucap yang bebas, baik cara membangun irama dan kata-kata yang dipilih. (hal. 98) Lebih lanjut dijelaskan ada dua variasi  yaitu putiba bebas dan putiba tiga.  

Ciri putiba bebas adalah : 1) Terdiri atas 3 bait, 2) Jumlah baris dalam setiap bait tidak dibatasi, 3) Setiap bait mengandung satu ide pokok, 4) Unsur diksi, irama, dan bentuk harus hadir secara baik. Menilik ciri putiba bebas ini tentu lebih luwes dalam penulisannya. Dan ini merupakan ciri puisi modern yang tidak terlalu terikat akan aturan semisal jumlah baris dalam satu bait, maupun irama di akhir baris. Jadi penulis (termasuk calon penulis puisi) dibebaskan berekspresi dalam bentuk karya puisi asalkan berjumlah 3 bait, tentu saja dengan tetap memasukkan unsur diksi dan irama. Syarat demikian akan memudahkan menulisnya.

Berdasarkan kemudahan syarat putiba variasi bebas itu “agak longgar” dapat ditebak hampir 99 % karya puisi putiba termasuk jenis ini.

            Sementara ciri putiba tiga : 1) Terdiri 3 bait, 2) Setiap bait terdiri atas 3 baris, 3) Setiap baris terdiri atas 3 kata, 4) Setiap bait mengandung satu ide pokok, 5) Unsur diksi, irama, dan bentuk harus hadir secara utuh dan padu. Ciri ini lebih memberikan batasan agak ketat terkait jumlah baris dan jumlah kata. Karena adanya batasan “agak ketat” ini maka dalam buku Resital Musim yang memuat lebih 200 puisi hanya saya temukan 6 judul saja yang murni menulis puisi variasi putiga tiga. Tercatat karya Evy Christ  ( hal 80-83)  dan Lucia Nucke Idayani (hal 133-136), Coba kita lihat bersama dan kita nikmati puisinya karya Lucie Nucke Idayani versi putiba tiga.

OKTOBER

Daun menguning satu

Berbisik tanpa kata

Aku bertambah tua

 

Sebentar lagi bersemi

Menunggu perintah hujan

Kepada bulan di peraduan

 

Oktober selalu berlalu

Satu daun kuning jatuh

Terbang teretangkap hujan

 

Begitu ketatnya tiga bait tersusun rapi dalam tiap baitnya ada 3 kata. Dalam setiap bait menyiratkan kesatuan makna yang bagus. Dan jika ditangkup dalam tiga bait menjadi kesatuan makna yang begitu dalam. Semua kata dipilih dengan makna yang tepat, diksinya apik dan susunan irama dalam satu baris begitu sering kentara. Lihatlah pada baris kedua : berbisik tanpa kata / beradu irama dengan kata “tua.” Sementara di bait kedua  : Lagi bersemi  / huruf i dengan i    dan hujan dengan bulan dan peraduan. ....semua tersusun indah. Apakah pembaca juga merasakannya ?

Dengan adanya pilihan dua variasi putiba maka penulis dan calon penulis putiba bisa menentukan pilihannya dalam berkarya.

 

            Sampai disini saya hanya ingin menggaris bawahi putiba ini mempunyai ciri khusus pada sisi jumlah baitnya ada tiga. Titik. Dalam prespektif lain dalam buku Resital Musim ini saya juga menemukan puisi sangat pendek berjumlah 3 baris saja. Puisi itu ternyata juga digagas oleh Tengspoe Tjahjono yaitu putibar. Salah satu contoh di buku tersebut karya Abi Utomo berjudul “Tangga Kematian” :

Kubunuh aku yang dahulu

Untuk tumbuh aku yang baru

Menyemai aku, aku dan zaman baru.

 

Betapa ringkasnya puisi ini, namun betapa dalamnya makna yang dikandungnya. Dari  sini disamping ide gagasan yang bagus, juga dibangun dengan tehnik pengulangan dan rima.

            Cak Inin juga menyuguhkan satu karya putibar di buku Resital Musim berjudul  “BATANG USIA.”

 

Lima dasa warsa berlalu

Gigi tanggal mata kabur putih rambutmu

Belum cukupkah tengara itu ?

 

Disini Cak Inin seperti menggambarkan dirinya yang sudah menginjak usia 50 tahun lebih. Makna yang sebenarnya menuju kepada semua manusia pada umumnya tentang adanya ciri penuaan yang tidak bisa tidak mesti dilalui, dan harus dijadikan peringatan untuk kebaikan dirinya.

 

            Ada catatan bahwa buku ini ditulis oleh 92 penulis yang lolos kurasi dengan berbagai latar belakang sangat beragam. Ada yang berprofesi guru atau dosen ( mayoritas ) , ada orang biasa, ada ibu rumah tangga, ada dokter ada doktor, ada kyai ada biarawan dan biarawati, mereka semua menulis.  Siapa pun mereka, dengan berbagai profesi, mereka menulis bukan untuk menjadi “penyair” , “sastrawan.” atau “pujangga.” Bagi kita menulis berarti berbagi cinta, empati dan solidaritas di tengah-tengah masyarakat material dan hedonis dewasa ini.. Menulis adalah kerja kemanusiaan. Demikian Tengsoe Tjahjono menegaskan.

            Buku ini cukup tebal untuk sebuah antologi puisi. Terdiri dari 18 halaman depan dan 288 halaman isinya, Membacanya cukup membuat bahagia, jika kita bisa menikmati. Dan karena tebal dan banyak puisinya maka ada istilah keren kita nikmati saja “ngemil” nya. Sedikit-sedikit sambil diresapi maknanya.

            Sungguh tidak rugi memiliki buku ini, karena ada berbagai keuntungan. Pertama puisinya dijamin mempunyai nilai lebih karena melalui proses “kurasi” yang ketat dari seorang penyair Tengsoe Tjahjono. Kedua, dengan membaca puisi yang ada sekaligus pembaca bisa belajar membuatnya dengan  cantik dan indah.

            Buku ini jika kita cermati dari setiap judul dan isinya kita akan segera paham bahwa ada tema tertentu yang diangkat yaitu KALENDER.  Tema kalender yang diajukan merujuk pada waktu penanggalan yang bisa diangkat menjadi sebuah ide pokok tertentu. Uniknya walau pun bertemakan kalender, namun jarang sekali isinya ada kata “kalender.”  Ada beberapa yang mengangkat sebagai judul kata tersebut, namun sebagian besar tidak ada kata kalender yang tersemat disana.

Mari kita cermati salah satu karya Ellis P Hermananingsih berjudul “SANDYAKALA”

 

Senja merona

Bumi berputar

Lari berpacu dengan tanggal

 

Oh, kau tanggal merah

Merahmu terhenti dalam hirukpikuk nafsu duniawi

Tawa lepas pelaku aktivitas

 

Tanggal-tanggal hitam

Terisi caci maki dari mulut-mulut pemalas

 

Dalam tubuhnya, tema kalender digantikan dengan  kata “tanggal.” Coba kita bandingkan dengan karya Cak Inin yang ada di buku ini berjudul “Batang Usia.”

 

Lima dasa warsa berlalu

Gigi tanggal mata kabur putih rambutmu

Belum cukupkah tengara itu ?

 

Putibar Cak Inin ini mengandung kata Lima dasa warsa untuk mengganti kata “kalender,” Terakhir kita cermati karya Usdhof berjudul MOTOR TUA (hal.241)

 

Suara kasar mengggelagar dari corong buntutnya

Memecah kesunyian di panas terik

Ada apa ?

 

Rodanya mermbat di atas pematang

Menggonceng dan menggendong setumpuk karung

Masih kuatkah ?

 

Corong buntutnya masih mengepul

Rodanya masih kuat melintas pematang

Hingga September menjerit

Bensin tak terbeli.

 

Karya beliau ini indah dan penuh makna yaitu perjuangan hidup petani yang hidupnya di bawah miskin yang sangat rentan terhadap daya beli “bensin” untuk sehari-hari. Hal ini bisa diartikan sebagai makanan pokok, sedang tak terbelinya bisa jadi karena kebijakan kenaikan harga. Penafsiran arti seperti ini boleh saja berbeda dengan pembaca lainnya. Dan berbagai penafsiran dengan logika yang benar membuat puisi semakin bermakna. Disini sekali lagi kata “kalender” tidak nampak namun diganti dengan kata “September” sebagai bagian dari kalender.

           

            Dari buku ini kita bisa belajar banyak, seperti penggalian tema yang bisa dikembangkan dengan berbagai kata lain yang memiliki arti serupa atau sejalan dengan tema pilihan. Tema “kalender” yang ditetapkan oleh Tengsoe Tjahjono sebagai pihak panitia ternyata sudah dijabarkan dengan sangat baik oleh 92 penulis puisi yang ada di buku ini.

            Kita juga bisa belajar misalnya tentang menulis puisi yang baik. Pedomannya singkat saja. Semua mudah dibaca bahkan dipahami. Puisi terdiri dari 3 bait misalnya, maka syarat itu memang yang harus dituruti. Mudah kan ? Putiba memang menjadi salah satu pilihan menulis puisi dalam bentuk sederhana dan ringkas. Eka Budianta dalam Prolog di buku Resital Musim ini  menjawab pertanyaan bagaimana menulis puisi istimewa ?

            Jawabnya akan muncul setelah kita membaca, menyerap informasi sebanyak-banyaknya, menghayati kehidupan serta menerima semua masukan dengan hati yang tulus,pikiran yang terbuka dan jiwa yang merdeka, demikian papar Eka Budianta seorang sastrawan nasional dan biographer.

 

            Jika ingin memiliki buku ini harus memesan khusus ke editornya, bisa melalui penulis puisi seperti Cak Inin dan Bung Usdhof. Selamat menulis puisi bagi semua pembaca. Nikmati ngemil buku semacam, insya Allah menjadi bahagia. Aamiin.

 

Blitar, 11 Desember 2022

Hariyanto