Oleh : Hariyanto
Judul
Buku :
Resital Musim Kitab Puisi Tiga Bait
Penulis : Komunitas Putiba
Indonesia
Editor : Tengsoe Tjahjono
Penerbit : DELIMA, Sidoarjo, cetakan 1 ,2022
Kode
QRSBN : 62-1263-0813-963
Jumlah
halaman : xviii + 288 halaman
Harga
Buku : Rp,85.000
Buku dengan judul Resital
Musim kali ini adalah sebuah buku antologi puisi yang dikumpulkan oleh
pecinta puisi di bawah asuhan Tengsoe Tjahjono. Pemilihan kata “musim” ada
kaitannya erat dengan tema yang disajikan yaitu “kalender” yang bisa diartikan
pertukaran musim, pertukaran waktu, baik detik, jam, hari maupun bulan dan tahun. Sedang kata Resital
menurut wikipedia berarti pertunjukan musik yang biasanya ditunjukkan karena
seseorang atau suatu grup musik telah mempelajari beberapa lagu baru dan ingin
menunjukan kebolehannya di publik. Lagu yang dimainkan bisa lagu ciptaan
sendiri maupun lagu ciptaan orang lain.
Membaca buku kumpulan puisi seperti ini
memang harus dipahami dulu jenis puisi yang ada di dalamnya. Sub Judul buku ini
merujuk katagori puisinya Kitab Puisi
Tiga Bait, yang dikenal dengan akronim putiba. Buku ini dihimpun dari 92
penulis dan lebih dari 200 puisi tersaji
di dalamnya.Buku ini langsung dieditori oleh Tengsoe Tjahjono, penyair,
budayawan, dosen dan sekaligus pendiri Komunitas Teras Putiba Indonesia.
Dalam buku,”Berumah dalam Sastra 3”
karya Tengsoe Tjahjono dijelaskan bahwa putiba adalah merupakan kependekan dari
puisi tiga bait. Putiba merupakan jenis puisi modern yang memiliki bentuk ucap
yang bebas, baik cara membangun irama dan kata-kata yang dipilih. (hal. 98)
Lebih lanjut dijelaskan ada dua variasi
yaitu putiba bebas dan putiba tiga.
Ciri putiba bebas adalah : 1) Terdiri atas 3 bait, 2)
Jumlah baris dalam setiap bait tidak dibatasi, 3) Setiap bait mengandung satu
ide pokok, 4) Unsur diksi, irama, dan bentuk harus hadir secara baik. Menilik
ciri putiba bebas ini tentu lebih luwes dalam penulisannya. Dan ini merupakan
ciri puisi modern yang tidak terlalu terikat akan aturan semisal jumlah baris dalam
satu bait, maupun irama di akhir baris. Jadi penulis (termasuk calon penulis
puisi) dibebaskan berekspresi dalam bentuk karya puisi asalkan berjumlah 3
bait, tentu saja dengan tetap memasukkan unsur diksi dan irama. Syarat demikian
akan memudahkan menulisnya.
Berdasarkan kemudahan syarat putiba variasi bebas itu
“agak longgar” dapat ditebak hampir 99 % karya puisi putiba termasuk jenis ini.
Sementara ciri putiba tiga : 1)
Terdiri 3 bait, 2) Setiap bait terdiri atas 3 baris, 3) Setiap baris terdiri atas
3 kata, 4) Setiap bait mengandung satu ide pokok, 5) Unsur diksi, irama, dan
bentuk harus hadir secara utuh dan padu. Ciri ini lebih memberikan batasan agak
ketat terkait jumlah baris dan jumlah kata. Karena adanya batasan “agak ketat”
ini maka dalam buku Resital Musim yang memuat lebih 200 puisi hanya saya
temukan 6 judul saja yang murni menulis puisi variasi putiga tiga. Tercatat
karya Evy Christ ( hal 80-83) dan Lucia Nucke Idayani (hal 133-136), Coba
kita lihat bersama dan kita nikmati puisinya karya Lucie Nucke Idayani versi
putiba tiga.
OKTOBER
Daun
menguning satu
Berbisik
tanpa kata
Aku
bertambah tua
Sebentar
lagi bersemi
Menunggu
perintah hujan
Kepada
bulan di peraduan
Oktober
selalu berlalu
Satu
daun kuning jatuh
Terbang
teretangkap hujan
Begitu ketatnya
tiga bait tersusun rapi dalam tiap baitnya ada 3 kata. Dalam setiap bait
menyiratkan kesatuan makna yang bagus. Dan jika ditangkup dalam tiga bait
menjadi kesatuan makna yang begitu dalam. Semua kata dipilih dengan makna yang
tepat, diksinya apik dan susunan irama dalam satu baris begitu sering kentara.
Lihatlah pada baris kedua : berbisik tanpa kata / beradu irama dengan kata
“tua.” Sementara di bait kedua : Lagi
bersemi / huruf i dengan i dan hujan dengan bulan dan peraduan.
....semua tersusun indah. Apakah pembaca juga merasakannya ?
Dengan adanya
pilihan dua variasi putiba maka penulis dan calon penulis putiba bisa
menentukan pilihannya dalam berkarya.
Sampai disini saya hanya ingin
menggaris bawahi putiba ini mempunyai ciri khusus pada sisi jumlah baitnya ada
tiga. Titik. Dalam prespektif lain dalam buku Resital Musim ini saya
juga menemukan puisi sangat pendek berjumlah 3 baris saja. Puisi itu ternyata
juga digagas oleh Tengspoe Tjahjono yaitu putibar. Salah satu contoh di buku
tersebut karya Abi Utomo berjudul “Tangga Kematian” :
Kubunuh
aku yang dahulu
Untuk
tumbuh aku yang baru
Menyemai
aku, aku dan zaman baru.
Betapa ringkasnya puisi ini, namun
betapa dalamnya makna yang dikandungnya. Dari
sini disamping ide gagasan yang bagus, juga dibangun dengan tehnik
pengulangan dan rima.
Cak
Inin juga menyuguhkan satu karya putibar di buku Resital Musim berjudul “BATANG USIA.”
Lima
dasa warsa berlalu
Gigi
tanggal mata kabur putih rambutmu
Belum
cukupkah tengara itu ?
Disini Cak Inin seperti menggambarkan
dirinya yang sudah menginjak usia 50 tahun lebih. Makna yang sebenarnya menuju
kepada semua manusia pada umumnya tentang adanya ciri penuaan yang tidak bisa
tidak mesti dilalui, dan harus dijadikan peringatan untuk kebaikan dirinya.
Ada
catatan bahwa buku ini ditulis oleh 92 penulis yang lolos kurasi dengan
berbagai latar belakang sangat beragam. Ada yang berprofesi guru atau dosen (
mayoritas ) , ada orang biasa, ada ibu rumah tangga, ada dokter ada doktor, ada
kyai ada biarawan dan biarawati, mereka semua menulis. Siapa pun mereka, dengan berbagai profesi,
mereka menulis bukan untuk menjadi “penyair” , “sastrawan.” atau “pujangga.”
Bagi kita menulis berarti berbagi cinta, empati dan solidaritas di
tengah-tengah masyarakat material dan hedonis dewasa ini.. Menulis adalah kerja kemanusiaan.
Demikian Tengsoe Tjahjono menegaskan.
Buku
ini cukup tebal untuk sebuah antologi puisi. Terdiri dari 18 halaman depan dan
288 halaman isinya, Membacanya cukup membuat bahagia, jika kita bisa menikmati.
Dan karena tebal dan banyak puisinya maka ada istilah keren kita nikmati saja
“ngemil” nya. Sedikit-sedikit sambil diresapi maknanya.
Sungguh
tidak rugi memiliki buku ini, karena ada berbagai keuntungan. Pertama puisinya dijamin mempunyai nilai
lebih karena melalui proses “kurasi” yang ketat dari seorang penyair Tengsoe
Tjahjono. Kedua, dengan membaca
puisi yang ada sekaligus pembaca bisa belajar membuatnya dengan cantik dan indah.
Buku
ini jika kita cermati dari setiap judul dan isinya kita akan segera paham bahwa
ada tema tertentu yang diangkat yaitu KALENDER.
Tema kalender yang diajukan merujuk pada waktu penanggalan yang bisa
diangkat menjadi sebuah ide pokok tertentu. Uniknya walau pun bertemakan kalender,
namun jarang sekali isinya ada kata “kalender.”
Ada beberapa yang mengangkat sebagai judul kata tersebut, namun sebagian
besar tidak ada kata kalender yang tersemat disana.
Mari kita cermati salah satu karya
Ellis P Hermananingsih berjudul “SANDYAKALA”
Senja
merona
Bumi
berputar
Lari
berpacu dengan tanggal
Oh,
kau tanggal merah
Merahmu
terhenti dalam hirukpikuk nafsu duniawi
Tawa
lepas pelaku aktivitas
Tanggal-tanggal
hitam
Terisi
caci maki dari mulut-mulut pemalas
Dalam tubuhnya, tema kalender digantikan
dengan kata “tanggal.” Coba kita
bandingkan dengan karya Cak Inin yang ada di buku ini berjudul “Batang Usia.”
Lima
dasa warsa berlalu
Gigi
tanggal mata kabur putih rambutmu
Belum
cukupkah tengara itu ?
Putibar Cak Inin ini mengandung kata
Lima dasa warsa untuk mengganti kata “kalender,” Terakhir kita cermati karya
Usdhof berjudul MOTOR TUA (hal.241)
Suara
kasar mengggelagar dari corong buntutnya
Memecah
kesunyian di panas terik
Ada
apa ?
Rodanya
mermbat di atas pematang
Menggonceng
dan menggendong setumpuk karung
Masih
kuatkah ?
Corong
buntutnya masih mengepul
Rodanya
masih kuat melintas pematang
Hingga
September menjerit
Bensin
tak terbeli.
Karya beliau ini
indah dan penuh makna yaitu perjuangan hidup petani yang hidupnya di bawah
miskin yang sangat rentan terhadap daya beli “bensin” untuk sehari-hari. Hal
ini bisa diartikan sebagai makanan pokok, sedang tak terbelinya bisa jadi
karena kebijakan kenaikan harga. Penafsiran arti seperti ini boleh saja berbeda
dengan pembaca lainnya. Dan berbagai penafsiran dengan logika yang benar membuat
puisi semakin bermakna. Disini sekali lagi kata “kalender” tidak nampak namun
diganti dengan kata “September” sebagai bagian dari kalender.
Dari
buku ini kita bisa belajar banyak, seperti penggalian tema yang bisa
dikembangkan dengan berbagai kata lain yang memiliki arti serupa atau sejalan
dengan tema pilihan. Tema “kalender” yang ditetapkan oleh Tengsoe Tjahjono
sebagai pihak panitia ternyata sudah dijabarkan dengan sangat baik oleh 92
penulis puisi yang ada di buku ini.
Kita
juga bisa belajar misalnya tentang menulis puisi yang baik. Pedomannya singkat
saja. Semua mudah dibaca bahkan dipahami. Puisi terdiri dari 3 bait misalnya,
maka syarat itu memang yang harus dituruti. Mudah kan ? Putiba memang menjadi
salah satu pilihan menulis puisi dalam bentuk sederhana dan ringkas. Eka
Budianta dalam Prolog di buku Resital Musim ini menjawab pertanyaan bagaimana menulis puisi
istimewa ?
Jawabnya
akan muncul setelah kita membaca, menyerap informasi sebanyak-banyaknya,
menghayati kehidupan serta menerima semua masukan dengan hati yang
tulus,pikiran yang terbuka dan jiwa yang merdeka, demikian papar Eka Budianta seorang
sastrawan nasional dan biographer.
Jika
ingin memiliki buku ini harus memesan khusus ke editornya, bisa melalui penulis
puisi seperti Cak Inin dan Bung Usdhof. Selamat menulis puisi bagi semua
pembaca. Nikmati ngemil buku semacam, insya Allah menjadi bahagia. Aamiin.
Blitar, 11 Desember 2022
Hariyanto
Resensi yang keren Cak Har. Memang Cak Har termasuk penulis Putiba dalam buku ini. Karyanya keren-keren dan jeli. Srlamat Cak Har. Matur nuwun
BalasHapusResensi yang keren Cak Har. Cak Hariyanto termasuk penulis Buku ini. Dan karyanya keren-keren
BalasHapusTerimkasih Cak Inin
HapusTinjauan buku yang mantap
BalasHapusTerimakasih Abah Khoiri
HapusMasyaAllah...
BalasHapusKarya yg luar biasa....
Karya orang2 lura biasa. Resensi yang detail.
Terimkasih Bu Mien apreasiasinya
HapusSae tenan saestu... Tinjauan lengkap. Semoga kita bisa belajar lebih baik di tengah lingkungan literasi yang bernas dan berisi
BalasHapusterimakasih Bung Dhofar
Hapus