Oleh Hariyanto
Buku berjudul 65 Cahaya Ramadan ini hadir bukan sekadar
sebagai kumpulan cerita pendek, melainkan sebagai cermin kecil yang memantulkan
wajah Ramadan dalam bentuk yang paling jujur dan manusiawi. Buku karya Telly D. adalah untaian
kisah dalam bentuk cerita tiga
paragraf (pentigraf) yang ditulis dengan kelembutan rasa dan ketajaman
batin. Dalam setiap kisahnya, pembaca diajak menyelami denyut kehidupan yang
sering kali terlewatkan: suara kentongan yang tak lagi disambut, nasi dingin
yang ditiup perlahan, sajadah tua yang basah oleh air mata, hingga doa-doa yang
tak sempat terucap.
Dengan struktur naratif yang
konsisten pengenalan tokoh, konflik, dan refleksi setiap pentigraf terasa utuh
meski singkat. Penulis berhasil menyampaikan kedalaman makna dalam ruang yang
terbatas, menjadikan setiap cerita sebagai ruang kontemplasi yang sunyi namun
menggugah. Ini bukan sekadar teknik menulis yang efisien, tetapi juga bentuk
spiritualitas: menyampaikan yang dalam dengan cara yang sederhana.
Tema besar Ramadan dijahit
dengan benang-benang halus: keikhlasan, kesabaran, berbagi, rindu, kehilangan,
dan pengampunan. Namun yang paling menonjol adalah kepekaan sosial. Buku ini
tidak bicara tentang Ramadan dari menara tinggi, tetapi dari lantai rumah-rumah
kecil, dari bangku becak, dari dapur yang hanya punya nasi sisa. Ia
mengingatkan kita bahwa ibadah bukan hanya soal ritual, tetapi juga soal empati
tentang bagaimana kita hadir untuk sesama, bahkan dalam diam.
Tema Ramadan karya Telly D. mungkin menjadi satu-satunya buku antologi pentigraf
yang ada saat ini. Selama ini buku
antologi pentigraf yang diterbitkan oleh Kampung Pentigraf Indonesia bersama
Tengsoe Tjahjono mengangkat tema seperti
lingkungan hidup, korupsi, kepahlawanan, dan belum pernah ada tema Ramadan. Karenanya
buku ini menjadi sangat istimewa bukan hanya menambah keragaman temanya tetapi ada
satu hal lagi yakni keunikan penyajiannya, Penulis berani memunculkan “gaya
baru” model kepenulisannya yang begitu ramping, tapi penuh nilai dan refleksi. Hal
ini ditandai dengan adanya twist yang selalu berbentuk monolog atau statement khusus baik secara lahir
maupun batinnya, sebagai ungkapan dan sikap dari tokoh yang dimunculkan. Tidak
hanya satu atau dua kali model itu diterapkan di buku ini, namun seluruh pentigraf yang
berjumlah 65 (enampuluh lima) itu.
Sejak judul pertama “Ketukan
Pertama di Pintu Ramadan,” yang mengisahkan seorang kakek berpuasa sendirian
setelah dua tahun ditinggal pergi puteranya,
tiba-tiba dikirimi oleh seorang anak tetangga dan diberi sebungkus nasi. Lalu di akhir cerita sebuah
refleksi dirinya dengan pernyataan berbunyi Ramadan ternyata tidak pernah
datang sendiri selalu membawa harapan, meski hanya dalam sebungkus nasi dan
sepotong doa. Sampai judul terakhir “Jangan Pergi Terlalu Cepat” pernyataan di
akhir pentigrafnya selalu ada seperti berikut: Ia menunduk dan berbisik kepada
langit malam yang mulai penuh gema. “Ramadan… jangan pergi terlalu cepat.” setelah merasakan
doa-doanya, ibadahnya belum kelar semua, namun tetiba Ramadan mau selesai.
Beberapa statement yang
tak kalah mengharukan seperti dalam pentigraf berjudul “Tetes Air Wudhu” tokoh Mbah Murti, dalam sunyi yang suci: “Jika ini
perpisahan, biarlah aku pamit dalam keadaan suci.” Kemudian dalam judul
“Sujud Penuh Penyesalan” tokoh Rangga, dalam sujud yang menggigil: “Tuhan,
beri aku keberanian untuk minta maaf.”
Dalam pentigraf lainnya “Dzikir di Tengah
Dingin” tokoh Ujang, tukang becak yang berdzikir dari luar pagar: “Tuhan…
dengarkanlah aku, meski pun aku hanya dari luar.” Penggambaran jiwa yang
pasrah, jiwa yang berserah diri digambarkan dalam suasana malam Ramadan akan
membuat jiwa pembaca terketuk. Bahkan seperti harapan penulisnya, bacaan seperti ini bisa
dijadikan renungan, “Setiap pentigraf ditulis tidak hanya untuk dibaca, tapi
untuk direnungi. Karena kadang, satu kalimat sederhana bisa lebih menggetarkan
dari ceramah panjang yang tak menyentuh.”
Tema Ramadan kali ini
benar-benar bisa digali secara seksama oleh Telly D. dalam bentuk pentigraf mulai dari kepekaan sosial, kesabaran,
keikhlasan, ibadah, hingga refleksi spiritual. Cerita-ceritanya sangat menyentuh
sisi paling manusiawi dari Ramadan: kesunyian, kehilangan, harapan, dan cinta
dalam bentuk paling sederhana. Banyak kisah yang menggambarkan nilai-nilai
seperti: berbagi dalam kekurangan, menahan amarah dan lapar, sujud penuh
penyesalan dan doa yang tertahan. Benar-benar pentigraf yang sarat akan nilai
luhur dan budi pekerti.
Aturan tulisan pentigraf tidak boleh lebih 210 kata, sebagai ciri dari short
short story, atau mini story yang digagas oleh Tengsoe Tjahjono ini,
menjadikan kesulitan tersendiri terutama untuk pemula. Kebiasaannya adalah banyak penulis menulis melebihi 210 kata
dan harus memangkasnya untuk memenuhi aturan itu. Namun harus diakui Telly D.
dapat membuktikan mempu melampaui batasan tersebut dengan sangat baik. Di buku
ini semua pentigraf Telly D. ditulis dengan sangat
amat teliti dari sisi jumlah katanya yakni tidak ada yang
melebihi 210 kata. Justeru menurut saya, karena kepiawaiannya, beliau mampu menulis di
bawah 140 kata. Karena faktanya pentigraf paling banyak
jumlah suku kata di buku itu ada dua saja berjumlah 134 kata berjudul
“Ketukan Pertama di Pintu Ramadan “ dan “ Tarawih Pertama.” Lainnya berkisar
antara 82 (yang terendah ) sampai
dibawah 130 kata. Luar biasa !
Keunikan buku ini dalam
penyajian narasi adalah narasi yang diberikan mampu memberikan nilai dan
refleksi. Narasinya rata-rata memiliki struktur
yang utuh dan emosional. Mengangkat tema Ramadan dengan cara yang tidak
klise. Menyampaikan pesan spiritual tanpa menggurui. Menggunakan simbol dan
bahasa yang puitis namun tetap mudah dipahami.
Sedangkan keunikan dalam alur
penyusunan bukunya pun ,yakni membagi tiga bagian, layaknya bulan Ramadan dalam
beberapa periwayatan Hadits Nabi setiap 10 hari dari pertama Rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api
neraka. Telly D. bertutur dalam
prakatanya, “Secara garis besar, buku ini terdiri
atas 65 pentigraf yang dibagi dalam tiga bagian utama.”
Bagian pertama berisi 20
pentigraf dari 10 hari pertama Ramadan, yang memotret semangat awal, harapan,
dan suasana religius yang menghangatkan. Bagian kedua, 20 pentigraf
dari 10 hari pertengahan Ramadan, berisi ketegangan, ujian, pergulatan batin,
dan godaan yang makin menguat. Bagian ketiga, 25 pentigraf
dari 10 hari terakhir Ramadan, menyuguhkan refleksi paling dalam tentang rindu,
pengampunan, kematian, malam-malam ganjil, dan perpisahan. Penataan seperti ini
jelas sudah dirancang secara kreatif untuk lebih menajamkan pemahaman
pembacanya dan sekaligus membuat buku ini unik dan menarik.
Yang patut diapresiasi
adalah keberagaman tokoh dan latar yang dihadirkan. Dari anak kecil yang
belajar puasa, remaja yang salah dalam gerakan salat, ibu tunggal
yang menjual kolak, hingga kakek tua yang menyapu masjid—semuanya hadir sebagai
manusia utuh, dengan luka dan harapannya masing-masing. Tidak ada yang
diagungkan, tidak ada yang direndahkan. Semua diberi ruang untuk bersinar dalam
keterbatasannya.
Buku ini layak menjadi teman
refleksi selama Ramadan, bukan hanya karena isinya yang menyentuh, tetapi
karena ia mengajak kita untuk jujur pada diri sendiri. Ia tidak menawarkan
solusi instan atau nasihat moral yang menggurui. Ia hanya menyodorkan cermin dan
membiarkan kita melihat diri kita sendiri di dalamnya.
Dari semua itu, saya berani menegaskan bahwa 65 Cahaya Ramadan adalah karya yang tidak hanya ditulis dengan
pena, tetapi dengan air mata, senyum, dan zikir yang pelan. Ia mengingatkan
kita bahwa Ramadan bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang terus mencoba
pulang meski dengan langkah yang tertatih.
Akhir kata, selamat
menikmati buku ini. Semoga buku ini menjadi cahaya kecil yang menuntun kita
menuju cahaya yang lebih besar. Aamiin.
Bagu , Loteng NTB, 10 Juli
2025
*Drs. Hariyanto adalah seorang penulis pentigraf, berasal dari kota Blitar, saat ini sedang di Lombok
Tengah NTB. Ia sudah menulis dua antologi pentigraf berjudul “Kisah 40 Hari Menulis Pentigraf" dan “Seri Guru Menulis; 100 PENTIGRAF
KLASTER BICARA.” (2022).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar