Minggu, 26 Oktober 2025

Menyelami Ramadan dalam Pentigraf Unik dan Menarik



Oleh Hariyanto

 

Buku berjudul 65 Cahaya Ramadan ini hadir bukan sekadar sebagai kumpulan cerita pendek, melainkan sebagai cermin kecil yang memantulkan wajah Ramadan dalam bentuk yang paling jujur dan manusiawi. Buku karya Telly D. adalah untaian kisah  dalam bentuk cerita tiga paragraf (pentigraf) yang ditulis dengan kelembutan rasa dan ketajaman batin. Dalam setiap kisahnya, pembaca diajak menyelami denyut kehidupan yang sering kali terlewatkan: suara kentongan yang tak lagi disambut, nasi dingin yang ditiup perlahan, sajadah tua yang basah oleh air mata, hingga doa-doa yang tak sempat terucap.

Dengan struktur naratif yang konsisten pengenalan tokoh, konflik, dan refleksi setiap pentigraf terasa utuh meski singkat. Penulis berhasil menyampaikan kedalaman makna dalam ruang yang terbatas, menjadikan setiap cerita sebagai ruang kontemplasi yang sunyi namun menggugah. Ini bukan sekadar teknik menulis yang efisien, tetapi juga bentuk spiritualitas: menyampaikan yang dalam dengan cara yang sederhana.

Tema besar Ramadan dijahit dengan benang-benang halus: keikhlasan, kesabaran, berbagi, rindu, kehilangan, dan pengampunan. Namun yang paling menonjol adalah kepekaan sosial. Buku ini tidak bicara tentang Ramadan dari menara tinggi, tetapi dari lantai rumah-rumah kecil, dari bangku becak, dari dapur yang hanya punya nasi sisa. Ia mengingatkan kita bahwa ibadah bukan hanya soal ritual, tetapi juga soal empati tentang bagaimana kita hadir untuk sesama, bahkan dalam diam.

Tema Ramadan karya Telly D.  mungkin  menjadi satu-satunya buku antologi pentigraf yang ada saat ini.  Selama ini buku antologi pentigraf yang diterbitkan oleh Kampung Pentigraf Indonesia bersama Tengsoe Tjahjono  mengangkat tema seperti lingkungan hidup, korupsi, kepahlawanan, dan belum pernah ada tema Ramadan. Karenanya buku ini menjadi sangat istimewa bukan hanya menambah keragaman temanya tetapi ada satu hal lagi yakni keunikan penyajiannya, Penulis berani memunculkan “gaya baru” model kepenulisannya yang begitu ramping, tapi penuh nilai dan refleksi. Hal ini ditandai dengan adanya twist yang selalu berbentuk monolog atau statement khusus baik secara lahir maupun batinnya, sebagai ungkapan dan sikap dari tokoh yang dimunculkan. Tidak hanya satu atau dua kali model itu diterapkan  di buku ini, namun seluruh pentigraf yang berjumlah 65 (enampuluh lima) itu.

Sejak judul pertama “Ketukan Pertama di Pintu Ramadan,” yang mengisahkan seorang kakek berpuasa sendirian setelah dua tahun ditinggal pergi puteranya, tiba-tiba dikirimi oleh seorang anak tetangga dan diberi sebungkus nasi. Lalu di akhir cerita sebuah refleksi dirinya dengan pernyataan berbunyi Ramadan ternyata tidak pernah datang sendiri selalu membawa harapan, meski hanya dalam sebungkus nasi dan sepotong doa. Sampai judul terakhir “Jangan Pergi Terlalu Cepat” pernyataan di akhir pentigrafnya selalu ada seperti berikut: Ia menunduk dan berbisik kepada langit malam yang mulai penuh gema. “Ramadan… jangan pergi terlalu cepat.” setelah merasakan doa-doanya, ibadahnya belum kelar semua, namun tetiba Ramadan mau selesai.

Beberapa statement yang tak kalah  mengharukan seperti  dalam pentigraf berjudul  “Tetes Air Wudhu” tokoh  Mbah Murti, dalam sunyi yang suci: “Jika ini perpisahan, biarlah aku pamit dalam keadaan suci.” Kemudian  dalam judul  “Sujud Penuh Penyesalan” tokoh Rangga, dalam sujud yang menggigil: “Tuhan, beri aku keberanian untuk minta maaf.”  Dalam pentigraf lainnya “Dzikir di Tengah Dingin” tokoh Ujang, tukang becak yang berdzikir dari luar pagar: “Tuhan… dengarkanlah aku, meski pun aku hanya dari luar.” Penggambaran jiwa yang pasrah, jiwa yang berserah diri digambarkan dalam suasana malam Ramadan akan membuat jiwa pembaca terketuk. Bahkan seperti harapan penulisnya, bacaan seperti ini bisa dijadikan renungan, “Setiap pentigraf ditulis tidak hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungi. Karena kadang, satu kalimat sederhana bisa lebih menggetarkan dari ceramah panjang yang tak menyentuh.”

Tema Ramadan kali ini benar-benar bisa digali secara seksama oleh Telly D. dalam bentuk pentigraf  mulai dari kepekaan sosial, kesabaran, keikhlasan, ibadah, hingga refleksi spiritual. Cerita-ceritanya sangat menyentuh sisi paling manusiawi dari Ramadan: kesunyian, kehilangan, harapan, dan cinta dalam bentuk paling sederhana. Banyak kisah yang menggambarkan nilai-nilai seperti: berbagi dalam kekurangan, menahan amarah dan lapar, sujud penuh penyesalan dan doa yang tertahan. Benar-benar pentigraf yang sarat akan nilai luhur dan budi pekerti.

Aturan tulisan pentigraf  tidak boleh lebih 210 kata, sebagai ciri dari short short story, atau mini story yang digagas oleh Tengsoe Tjahjono ini, menjadikan kesulitan tersendiri terutama untuk pemula. Kebiasaannya adalah  banyak penulis menulis melebihi 210 kata dan harus memangkasnya untuk memenuhi aturan itu. Namun harus diakui Telly D. dapat membuktikan mempu melampaui batasan tersebut dengan sangat baik. Di buku ini semua pentigraf Telly D. ditulis dengan sangat amat teliti dari sisi jumlah katanya yakni tidak ada yang melebihi 210 kata. Justeru menurut saya, karena kepiawaiannya, beliau mampu menulis di bawah  140 kata. Karena faktanya pentigraf paling banyak jumlah suku kata  di buku itu ada dua saja berjumlah 134 kata berjudul “Ketukan Pertama di Pintu Ramadan “ dan “ Tarawih Pertama.” Lainnya berkisar antara 82 (yang  terendah ) sampai dibawah 130 kata. Luar biasa !

Keunikan buku ini dalam penyajian narasi adalah narasi yang diberikan mampu memberikan nilai dan refleksi. Narasinya rata-rata memiliki struktur  yang utuh dan emosional. Mengangkat tema Ramadan dengan cara yang tidak klise. Menyampaikan pesan spiritual tanpa menggurui. Menggunakan simbol dan bahasa yang puitis namun tetap mudah dipahami.

Sedangkan keunikan dalam alur penyusunan bukunya pun ,yakni membagi tiga bagian, layaknya bulan Ramadan dalam beberapa periwayatan Hadits Nabi setiap 10 hari dari pertama Rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka. Telly D. bertutur  dalam prakatanya, “Secara garis besar, buku ini terdiri atas 65 pentigraf yang dibagi dalam tiga bagian utama.

Bagian pertama berisi 20 pentigraf dari 10 hari pertama Ramadan, yang memotret semangat awal, harapan, dan suasana religius yang menghangatkan. Bagian kedua, 20 pentigraf dari 10 hari pertengahan Ramadan, berisi ketegangan, ujian, pergulatan batin, dan godaan yang makin menguat. Bagian ketiga, 25 pentigraf dari 10 hari terakhir Ramadan, menyuguhkan refleksi paling dalam tentang rindu, pengampunan, kematian, malam-malam ganjil, dan perpisahan. Penataan seperti ini jelas sudah dirancang secara kreatif untuk lebih menajamkan pemahaman pembacanya dan sekaligus membuat buku ini unik dan menarik.  

Yang patut diapresiasi adalah keberagaman tokoh dan latar yang dihadirkan. Dari anak kecil yang belajar puasa, remaja yang salah dalam gerakan salat, ibu tunggal yang menjual kolak, hingga kakek tua yang menyapu masjid—semuanya hadir sebagai manusia utuh, dengan luka dan harapannya masing-masing. Tidak ada yang diagungkan, tidak ada yang direndahkan. Semua diberi ruang untuk bersinar dalam keterbatasannya.

Buku ini layak menjadi teman refleksi selama Ramadan, bukan hanya karena isinya yang menyentuh, tetapi karena ia mengajak kita untuk jujur pada diri sendiri. Ia tidak menawarkan solusi instan atau nasihat moral yang menggurui. Ia hanya menyodorkan cermin dan membiarkan kita melihat diri kita sendiri di dalamnya.

Dari semua itusaya berani menegaskan bahwa 65 Cahaya Ramadan  adalah karya yang tidak hanya ditulis dengan pena, tetapi dengan air mata, senyum, dan zikir yang pelan. Ia mengingatkan kita bahwa Ramadan bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang terus mencoba pulang meski dengan langkah yang tertatih.

Akhir kata, selamat menikmati buku ini. Semoga buku ini menjadi cahaya kecil yang menuntun kita menuju cahaya yang lebih besar. Aamiin.

Bagu , Loteng NTB, 10 Juli 2025

*Drs. Hariyanto adalah seorang penulis pentigraf,  berasal dari kota Blitar, saat ini sedang di Lombok Tengah NTB.  Ia sudah menulis dua antologi pentigraf  berjudul  “Kisah 40 Hari Menulis Pentigraf"  dan “Seri Guru Menulis; 100 PENTIGRAF  KLASTER BICARA.” (2022).

 

 

Sebuah Paket Istimewa dari Yogya ke Lombok

 


Oleh : Hariyanto

 

Pekan ini, hati saya dipenuhi syukur dan haru. Sebuah paket istimewa dari sebuah penerbitan di Yogyakarta akhirnya tiba dengan selamat di tangan saya di Lombok. Di dalamnya, tersimpan dua buah buku yang masih baru dan terbungkus rapi—sebuah hadiah yang sangat berarti.

 

Dua buku itu adalah “Kartini Zaman Kini: 45 Tangan Menjaga Cahaya” dan“65 Cahaya Ramadhan: Pentigraf dari Senyap Sahur hingga Malam Qodar”, karya Bunda Telly D, penulis favorit kami di Rumah Virus Literasi (RVL). Buku-buku antologi pentigraf (cerita pendek 3 paragraf) ini merupakan kumpulan karya kreatif dari grup RVL yang disusun dengan apik dan dibimbing langsung oleh guru kami, Dr. Moch. Khoiri, M.S.i.

 

Secantik Sampul, Sebermakna Isi

 

Sampul buku ini langsung mencuri perhatian. Terbuat dari kertas art paper tebal yang mengilap, membuat warna dan desainnya tampak "pop" dan elegan. Sampulnya memiliki lidah yang dilipat di kedua sisi—depan untuk judul, belakang untuk biografi penulis beserta foto. Sensasi memegangnya pun terasa istimewa.

 

Namun, keistimewaannya tidak berhenti di fisik. Isi buku ini sungguh luar biasa. Sebagai model bagi penulis pemula atau pengajar sastra, pola tiga paragrafnya sangat jelas: paragraf pertama untuk pengenalan, kedua untuk konflik, dan ketiga untuk penyelesaian. Berbagai tokoh dan persoalan kehidupan diungkap dengan padat dan penuh makna.

 

Sebuah Kehormatan untuk Ikut Mengantar

 

Saya merasa sangat terhormat diberi kepercayaan untuk menulis kata pengantar dan menjadi editor bersama untuk buku “65 Cahaya Ramadhan”. Buku ini adalah buku ke-4 dari impian Bunda Telly D untuk menerbitkan 10 antologi pentigraf.

 

Melalui ulasan singkat ini, ijinkan saya memperkenalkan buku yang ditulis dengan sepenuh hati ini kepada khalayak. Semoga “65 Cahaya Ramadhan” dan “Kartini Zaman Kini” dapat sukses menyentuh hati setiap pembacanya. Karena saya tahu buku ini ditulis dengan penuh dedikasi dan sepenuh hati.

 

Selamat atas terbitnya, Bunda Telly D! Semoga bukunya berkah dan menginspirasi. Aamiin.

 

Bagu, Loteng, 26 Oktober 2025






Selasa, 26 Agustus 2025

Pentigraf : Senyum di Balik Rompi Orange



Oleh : Hariyanto

Pagi itu, kantor megah di pusat kota mendadak ramai bukan karena rapat penting, tapi karena penyergapan KPK. Seorang pejabat tinggi yang selama ini dielu-elukan karena “prestasi pembangunan” digiring keluar dengan rompi oranye. Di balik meja kerjanya yang mewah, ditemukan bukti suap ratusan miliar, lengkap dengan daftar nama yang ikut menikmati remah-remah kekuasaan. Aroma parfum mahal bercampur dengan bau busuk pengkhianatan.

 

Yang membuat geger bukan hanya jumlah uang yang disita, tapi ekspresi sang pejabat saat keluar dari gedung: tersenyum. Senyum yang tidak tahu malu, seolah sedang menerima penghargaan, bukan digiring ke tahanan. Kamera menyorot wajahnya, dan dalam hitungan menit, media sosial meledak. “Senyum setan,” tulis netizen. “Mungkin dia pikir ini audisi sinetron,”  Warganet tak lagi marah, mereka muak.

 

Di ruang tahanan, ia duduk tenang, masih dengan senyum tipis. “Saya hanya menjalankan sistem,” katanya pada wartawan. Ironisnya, sistem yang ia maksud adalah sistem amplop, sistem bisik-bisik, sistem tutup mata. Di luar, rakyat masih antre beras subsidi. Tapi di dalam, senyum itu tetap abadi seperti noda yang tak bisa dicuci dari wajah kekuasaan.

 

Bagu, Lombok Tengah, 27 Agustus 2025

Catatan Pentigraf "Gagal Pentas" karya Endang Dres



Oleh : Hariyanto



Mari kita perhatikan pentigraf karya Bunda Endang Dres berikut ini : 

GAGAL PENTAS 

Oleh Endang DRES 


Seperti biasanya Padukuhan wilayah kami tiap tanggal 17 Agustus menyelenggarakan upacara dengan pembina upacara Dukuh kami.


Pagi itu Bunga seorang instruktur senam juga budayawan ingin tampil totalitas usai upacara HUT ke 80 RI. Bunga yang cantik mengenakan kostum nenek jadul yaitu berkain kebaya, menggendong "kêcohan" tidak lupa makan sirih lalu membersihkan dengan segenggam tembakau yang masih ditahan di mulutnya. Bunga berjalan keluar hendak naik motor menuju tempat upacara. Namun pandangan berkunang- kunang berkeringat dingin dan lemas tak berdaya. Oleh keluarganya dibawa ke UGD terdekat. Hasil pemeriksaan medis ternyata keracunan tembakau yang dipakai untuk "susuran". 


Dokter memberikan pertolongan dengan gesit akhirnya terselamatkan. Waktu telah menunjukkan pukul 11.00

Upacara telah selesai. Hatinya kecewa dan sedih karena pusingnya belum hilang. Ih...namanya juga salah tembakau ternyata yang dipakai tembakau untuk rokok.

Astaghfirullah…


Pentigraf “Gagal Pentas” ini  sudah memiliki fondasi cerita yang kuat dan menghibur, namun ada beberapa masukan berikut yang bisa membuatnya lebih menarik lagi.

Pentigraf ini sudah benar strukturnya 3 paragraf, tokoh dan alurnya jelas dan begitu lancar penuturannya. Hal mengesankan seperti ini biasanya didapat jika idenya diperoleh dari kisah nyata. Penulis Endang Dres berhasil menyajikannya dalam bentuk pentigraf. 

Catatan Pertama tentang struktur pentigraf. Secara umum, pentigraf terdiri dari tiga paragraf mempunya fungsi yang berbeda:

1. Paragraf pertama: pengantar atau latar cerita

2. Paragraf kedua: konflik atau masalah utama

3. Paragraf ketiga: penyelesaian, twist, atau penutup yang mengejutkan

Struktur ini penting untuk dipegang dan dijadikan pedoman setiap kali menulis sebuah pentigraf. Contoh kasus di atas adalah salah penempatan kalimat dalam struktur pentigraf.

Kalimat "Hasil pemeriksaan medis ternyata keracunan tembakau yang dipakai untuk 'susuran'" mengandung unsur pengungkapan, sehingga secara struktur lebih cocok ditempatkan di paragraf ketiga sebagai bagian dari twist atau penyelesaian. Jika kalimat tersebut dimunculkan terlalu awal (di paragraf kedua), maka ketegangan cerita bisa berkurang karena pembaca sudah mengetahui penyebabnya sebelum klimaks tercapai.

Sebagai alternatif, paragraf kedua bisa fokus pada gejala yang dialami Bunga misalnya pandangan berkunang-kunang, keringat dingin, dan dibawa ke UGD tanpa langsung mengungkap penyebabnya. Lalu, paragraf ketiga bisa menjadi momen “ jawaban “ ketika dokter mengungkap bahwa Bunga keracunan tembakau rokok, bukan tembakau susuran. Ini akan memperkuat efek kejutan dan membuat twist lebih terasa.

Disarankan memindahkan kalimat tersebut ke paragraf ketiga akan membuat alur cerita lebih tajam dan sesuai dengan kaidah penulisan pentigraf. 

Berikut saran revisinya

GAGAL PENTAS

Oleh Endang DRES 


Seperti biasanya, Padukuhan wilayah kami setiap 17 Agustus menyelenggarakan upacara kemerdekaan dengan pembina upacara Dukuh kami. Tahun ini terasa istimewa karena Bunga, seorang instruktur senam sekaligus budayawan, berencana tampil totalitas dalam balutan kostum nenek zaman dulu: berkain kebaya, menggendong kêcohan, dan membawa sirih serta tembakau sebagai pelengkap peran.


Pagi itu, Bunga bersiap menuju lokasi upacara. Namun belum sempat menyalakan motor, tubuhnya mendadak lemas, berkeringat dingin, dan pandangan berkunang-kunang. Keluarganya panik dan segera membawanya ke Unit Gawat Darurat terdekat. Upacara tetap berlangsung, tetapi Bunga terbaring tak berdaya, kecewa karena gagal tampil dalam momen yang telah ia persiapkan dengan sepenuh hati.


Menjelang siang, dokter menyampaikan hasil pemeriksaan: Bunga mengalami keracunan tembakau. Ternyata, tembakau yang ia gunakan bukan untuk susuran, melainkan tembakau rokok yang lebih keras dan berbahaya jika dikunyah. Ia hanya bisa tersenyum pahit sambil bergumam, “Astaghfirullah... salah tembakau.”

Catatan kedua, membuat twist bukan sekedar menjawab persoalan atas konflik di paragraf ke 2, namun tambahkan kejutan berupa dialog monolog dari “ tokohnya.” Di bagian saran revisi ini dialog berupa ucapan Bunga yang bergumam “Astaghfirullah... salah tembakau.” Ini adalah dialog fisik, bisa juga berbentuk dialog batin. Pernyataan kalimat langsung seperti ini sangat penting ditulis sebagai twist karena yang mengandung refleksi dari tokohnya. Refleksi dalam sebuah pentigraf untuk menunjukkan perubahan sifat atau sikap yang lebih baik dari sang tokoh. 

Hal demikian sering dilakukan oleh pentigrafis senior, kalau disini bisa dilihat pentigraf yang ditulis Bunda Telly dan kawan- kawan. Lihat bagian akhir paragraf ke 3 nya, sering berupa dialog. Mengapa itu terjadi ? Karena dialog monolog itu cara paling mudah untuk menjelaskan perubahan yang terjadi terutama untuk menunjukkan sifat dan sikap akhir dari sang tokoh. 

Demikian sekedar 2 catatan dari Pentigraf “Gagal Pentas” karya Endang Dres. Semiga bermanfaat. Terus semangat menulis pentigraf. 


Bagu Loteng, 26 Agustus 2026.



Kamis, 14 Agustus 2025

Pentigraf : Merah dan Putih Bendera Bajak Laut

 


Oleh: Hariyanto

Di kampung Mahardika yang sejuk dan tenang, hidup seorang kakek bernama Sarno, veteran tua yang pernah bertaruh nyawa melawan penjajah Belanda demi kemerdekaan Indonesia. Setiap bulan Agustus, semangat perjuangannya bangkit kembali. Dengan tongkat dan suara lantang, ia berkeliling kampung, mengetuk pintu demi pintu, mengingatkan warga untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Baginya, bendera itu bukan sekadar kain, melainkan lambang pengorbanan dan harga diri bangsa. Namun, zaman telah berubah. Banyak warga, terutama anak muda, mulai menganggapnya cerewet dan kuno.


Suatu pagi menjelang 17 Agustus, Kakek Sarno tertegun melihat sebuah bendera hitam bergambar tengkorak berkibar di halaman rumah cucunya, Raka. Dadanya sesak, pikirannya melayang ke masa perang, ketika melihat bendera musuh berarti ancaman. Dengan langkah gemetar, ia mendatangi rumah itu, bersiap menegur keras. Raka menyambutnya dengan senyum dan berkata, “ Tenang Kek. Ini bukan pemberontakan. Ini bendera bajak laut dari anime One Piece. Merah Putih tetap saya kibarkan di atasnya.” Kakek Sarno terdiam, mencoba memahami dunia yang sedang berubah.


Malam harinya, Raka mengajak sang kakek ke lapangan kampung. Di sana, anak-anak muda membuat mural besar , Merah Putih berdampingan dengan simbol One Piece, bertuliskan “Kemerdekaan adalah kebebasan memilih.” Kakek Sarno menatap mural itu lama, lalu tersenyum. Ia sadar, semangat perjuangan tak mati, ia hanya berganti rupa, mengikuti zaman, tapi tetap berakar pada cinta tanah air.