Oleh ' Drs. Hariyanto
Resensi Buku:
Berumah dalam Sastra 3 : Eksplorasi Sastra
Mini di Era Kekinian
Judul : Berumah
dalam Sastra 3
Penulis : Tengsoe Tjahjono
Penerbit : Tankali, Sidoarjo
Tahun Terbit : 2020
Jumlah Halaman : 135
halaman + viii
Buku Berumah dalam
Sastra 3 memperkenalkan konsep sastra mini berbasis angka tiga,
yaitu Pentigraf (cerpen tiga paragraf), Tatika (cerita
tiga kalimat), Putiba (puisi tiga bait), dan Putibar (puisi
tiga baris). Karya ini tidak hanya menawarkan bentuk sastra yang ringkas,
tetapi juga relevan dengan kebutuhan generasi digital yang cenderung
mengonsumsi konten singkat dan padat.
Struktur dan Isi Buku
Sesuai judulnya “Berumah dalam
Sastra 3” penulis memilih gaya penulisan layaknya memasuki sebuah “rumah”
dengan gambaran bagian rumah dari depan, pentu depan lalu bilik-biliknya.
Selain itu gaya penulisan ini ditulis dengan mode pertanyaan pada setiap babnya
dan ini dimaksudkan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang banyak muncul dari
penulisan sastra 3 yang penulis maksudkan. Untuk lebih jelasnya kita masuki
bagian demi bagian isi bukunya.
Buku ini terbagi menjadi lima
bagian utama:
Bab 1 Pintu Depan
Dalam sub
judul Pintu Masuk dijelaskan yang dimaksud sastra 3 adalah karya sastra yang
memakai format 3 dalah hal ini ada 4 genre yaitu cerpen 3 paragraf, cerita 3
kalimat, puisi 3 bait dan puisi 3 baris. Dalam Sub bab Mengapa 3 dijelaskan
tentang filosofi angka tiga dalam berbagai aspek kehidupan termasuk agama,
mulai dari struktur sosial hingga tradisi linguistik dari adat Fakfak di Papua
yaitu “Satu Tungku Tiga Batu”, sampai Batak di Sumatera yang memiliki karakter
3 warna hitam,putih , merah lalu kalangan
Jawa dengan istilah angka khusus pada
tiga sebutan , 25, 50 dan 60. Tengsoe
Tjahjono mengungkapkan bahwa angka tiga bukan sekadar bilangan, melainkan
simbol yang hidup dalam kebudayaan.
Dalam penjelasan mengenai mengapa sastra 3
antara ada alasan keringkasan bentuk sastra di zaman serba cepat ini dan
menjawab kebutuhan penulis dan pembaca untuk menulis praktis dan membaca cepat.
Masuk sub bab Tuang Tengah dengan pertanyaan
Bagaimana proses menulis karya sastra penulis mengibaratkan seorang tukang kayu
dalam berkarya, Menulis sastra menurutnya kepintaran mengolah bahan dari
kehidupan ini dengan alat Bahasa menjadi karya unik dengan cara mengolah fakta
realitas menjadi realitas baru yang sudah dibumbui imajinasi. Realitas baru itu
disebut REALITAS IMAJINATIF.
Bab 2 Bilik Pentigraf
Setelah Panjang lebar mengupas
bagaimana sebuah karya bernilai sastra, bagaimana seorang penulis mempersiapkan
bahan dan mengolahnya dengan baik, maka kita memasuki bilik pentigraf..
Membahas pentigraf sebagai cerita pendek tiga paragraf memiliki
aturan berikut :
Jumlah kata Maksimal 210 kata. Hanya
boleh ada satu kalimat langsung dalam
setiap paragraf. Memiliki plot
twist yang mengejutkan atau ketakterdugaan. Mengapa harus 210 kata, inilah mungkin sebagai
ciri khas dari pentigraf versi Tengsoe disamping ciri utama genre short-short
story atau sekelas falsh fiction yang mempunyai jumlah kata 250 – 1000kata. Ukuran 210 kata untuk pentigraf ini diharapkan tetap
mengusung elemen narasi seperti alur, tokoh dan latar. Elemen tersebut hadir
tidak berdiri sendiri namun hadir secara utuh,padu dan saling berkelindan (
hal. 61)
Justru ukuran 210 kata ini yang
sering membuat penulis tidak sadar menuliskannya berlebih. Selanjujtnya hanya ada 1 kalimat langsung
dalam setiap paragraph, ini dimaksudkan agar penulos tidak terjebak dalam dialog
berkepanjangan dan menyimpang dari tema .
Ciri berikutnya pentigraf memiliki
twist yang mengejutkan di bagian akhir cerita. Twist ini sering berupa kejutan
atau ketakterdugaan dan ada di bagian akhir atau paragraf ke 3. DI bilik ke 2
pentigraf ini juga disajikan sebuah pentigraf sebagai contoh untuk membuat
kejutan atau ketakterdugaan. Diantara
cara membuat kejutan antara lain, membuat tokoh protagonis yang salah,
menuliskan alur yang tidak linier, atau tokoh dengan watak yang tak dapat diduga.
Apakah boleh menulis pentigraf ditulis secara monolog ? Inilah salah satu hal
yang dijelaskan di buku ini bahwa pentigraf yang hanya 3 paragraf ini jika
tidak berhati-hati penulis sering terjebak seperti menulis puisi atau menulis
monolog. Bagaimana mengatasinya ? Jangan kuatir di buku ini pula disajikan contoh
mengatasinya antara lain dengan menyisipkan 1 dialog di antara paragraf. DI bilik pentigraf ini juga disajikan 5 contoh
pentigraf. Contoh ini sangat bermanfaat untuk pembaca yang ingin memahami dan
mendalami pentigraf.
Bab 3. Bilik Tatika
Menjelaskan Tatika,
yaitu narasi tiga kalimat yang tetap memerlukan unsur cerita lengkap (tokoh,
alur, dan tema). Ciri teknis Tatika antara lain terdiri atas 3 kalimat yang
ditulis berkesinambungan dalam satu paragraf. Panjang tatika antara 70 – 75 kata.
Focus pada satu tokoh. Ada kejutan di dalamnya. Hanya boleh ada 1 kalimat
langsung di dalamnya. Penulis diharapkan menggunakan kata secara efektif karena
hanya 3 kalimat. Sekali lagi penulis tatika diinngatkan untuk tidak terjebak
dalam karya monolog atau puisi , apalagi jika memakai sudut pandang “Aku.” Sebagai
pencerita.
Untuk memudahkan pemahaman tatika
di buku ini disajikan 6 contoh tatika, disamping beberapa tatika dalam bab
pembahasan.
Bab 4. Bilik Putiba
Model puisi 3 bait dimaksud ada 2
versi.Pertama model 3 bait bebas yaitu dalam tiga bait jumlah barisnya tidak
dibatasi, tiap bait mengandung satu ide pokok dan tetap memasukkan unsur diksi,
irama seperti pada umumnya.
Versi kedua adalah model tiga
bait puisi tiga, dengan ciri terdapat 3 baris dalam setiap bait, terdapat 3
kata dalam setiap baris, mengandung 1 ide pokok di setiap bait dan mengandung
unsir diksi dan irama yang terpadu.
Disajikan 9 putiba di bilik ini
dan ini cukup untuk bahan pembelajaran, disamping beberapa contoh dalam
pembahasan.
Mana yang lebih baik diantara 2
versi tersebut ? Tentu saja semua baik bergantung tujuan. Terdapat gagasan yang
tidak dipaksa diolah dalam bentuk putiba tiga, namun lebih cocok jika ditulis
dalam bentuk putiba bebas (hal. 101)
Bagaimana gagasan dalam puisi ?
Dalam puisi , gagasan disampaikan dengan balutan kata-kata yang diolah dengan
rasa, Jadi pikiran dan perasaan berkelindan dalam puisi.
Bagaimana menafsirkan puisi ?
Puisi sebagaimana karya sastra
lainnya merupakan dunia simbul, dunia lambing. Karena sebagaidunia lambang
puisi memerlukan penafsira. Jadi puisi yang baik selalu mengundang
penafsiran. Perbedaan penafsiran tidaklah salah senyampang itu didukung oleh
data teks. Putiba yang baik selalu mengandung kekayaan makna, kekayaan tafsir,
bukan hanya sebuah tafasir Tunggal. ( hal. 108 )
Bab 5. Putibar
Menguraikan puisi tiga bait (Putiba) dan tiga baris (Putibar)
dengan penekanan pada kedalaman gagasan, bukan sekadar ekspresi perasaan.Ada 2
versi putibar bebas dan putibar tiga. Ciri teknis putibar bebas adalah terdiri 3
baris dengan jumlah kata setiap baris
menimal 7 kata. Tetap mengandung diksi dan irama dalam perpaduan.. Sedangkan
ciri putibar tiga adalah dalam tiga baris itu setiap barisnya terdiri 3 kata.
Berikut 1 contoh putibar tiga
karya Herry Lamongan (hal. 121)
KEPASTIAN
Seperti janji masa
Kitab kan tiba
Di saat senja
Di buku ini disajikan 28 contoh putibar di luar contoh yang ada dalam
pembahasan. Contoh ini lebih dari cukup untuk memahami dan mendalami materi puisi khusus putibar.
Setelah memasuki 5 ruangan dan bilik di buku ini kita pasti merasakan “semangat
baru” dalam menulis berbagai genre, dalam hal ini pentigraf , tatika,putiba dan
putibar. Semua serba 3, smua serba singkat, namun padat makna. Semua terasa
baru dan sangat menantang, walau sebenarnya pentigraf sudah diperkenalakn oleh
Tengsoe sejak tahun 80-an.
Buku ini lahir dari beberapa pertanyaan maka pola penulisannya seperti
menjawab pertanyaan. Singkat padat dan jika agak Panjang pembahasannya tetap fokus dan bahasanya ringan mudah
dipahami. Sungguh beruntung memiliki buku ini, karena setiap halamannya selalu
menggugah pembaca untuk segera menulisnya, baik itu pentigraf maupun genre lainnya.
Dalam konteks generasi yang
terbiasa dengan konten singkat (seperti tweet, reel,
atau story), bentuk sastra mini ini memiliki beberapa keunggulan antara
lain efisiensi waktu
Pembaca dapat menikmati karya sastra tanpa harus berinvestasi waktu lama.
Kelebihan Buku
- Pembahasan Komprehensif
Tengsoe tidak hanya menjelaskan teknik penulisan, tetapi juga memberikan contoh dan analisis mendalam untuk setiap bentuk sastra 3 yang dimaksud. Apalagi saat menjelaskan pentigraf tentang bagaimana ketakterdugaan dalam pentigraf. Beliau mencontohkan satu pentigraf namun berisi beberapa “kejutan” di dalamnya. Inilah salah satu keunggulan bahasan pentigrafnya. - Bahasa yang Terstruktur
Gaya penulisan formal namun mudah dipahami, cocok untuk pembaca dari berbagai kalangan. Karena tulisannya disusun dengan gaya seperti menjawab pertanyaan, sehingga buku ini seperti hendak menjawab seluruh pertanyaan dengan singkat namun jelas dan dengan beberapa contoh relevan.
Kekurangan Buku,
Ada satu catatan yang mungkin terlupakan oleh
penulisnya. Ketika menjelaskan tugas
penulis sastra dalam hal ini pentigraf
yaitu mengubah realitas menjadi realitas baru, imajinatif dan lebih kreatif.
Harusnya ditambahkan contoh 2 pentigraf yang pertama sajian pentigraf fakta
nyata, berupa deskripsi dan kedua pentigraf berisi fakta imajinatif dari
pentigraf yang pertama. Contoh pentigraf ini pernah beliau bacakan dalam sebuah
zoom beberapa tahun lalu, namun tidak disajikan dalam buku ini.
Buku ini termasuk “buku teori”
yang memuat 4 genre sekaligus dalam pembelajaran sastra. Pembahasan yang
penting seperti ini harusnya dicetak dalam kertas buku HVS agar terjaga mutu
kertasnya, terlihat putih bersih dan berkesan sebagai buku pembelajaran.
Kenyataan buku yang saya resensi ini dicetak dalam kertas kuning. Terlihat
buram tampilannya.
Simpulan
Berumah dalam Sastra 3 adalah
karya penting yang menjembatani tradisi sastra dengan kebutuhan kontemporer.
Buku ini tidak hanya cocok untuk penikmat sastra, tetapi juga bagi generasi
muda yang ingin mengeksplorasi kreativitas menulis dalam format yang efisien.
Bagu, Loteng, 22 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar