Minggu, 22 Juni 2025

RESENSI BUKU : Berumah dalam Sastra 3 : Eksplorasi Sastra Mini di Era Kekinian

 


Oleh ' Drs. Hariyanto

Resensi Buku: 

Berumah dalam Sastra 3 : Eksplorasi Sastra Mini di Era Kekinian

Judul                                     Berumah dalam Sastra 3
Penulis                                  Tengsoe Tjahjono
Penerbit                               Tankali, Sidoarjo
Tahun Terbit                        2020
Jumlah Halaman                 135 halaman + viii


Buku Berumah dalam Sastra 3 memperkenalkan konsep sastra mini berbasis angka tiga, yaitu Pentigraf (cerpen tiga paragraf), Tatika (cerita tiga kalimat), Putiba (puisi tiga bait), dan Putibar (puisi tiga baris). Karya ini tidak hanya menawarkan bentuk sastra yang ringkas, tetapi juga relevan dengan kebutuhan generasi digital yang cenderung mengonsumsi konten singkat dan padat.

Struktur dan Isi Buku

Sesuai judulnya “Berumah dalam Sastra 3” penulis memilih gaya penulisan layaknya memasuki sebuah “rumah” dengan gambaran bagian rumah dari depan, pentu depan lalu bilik-biliknya. Selain itu gaya penulisan ini ditulis dengan mode pertanyaan pada setiap babnya dan ini dimaksudkan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang banyak muncul dari penulisan sastra 3 yang penulis maksudkan. Untuk lebih jelasnya kita masuki bagian demi bagian isi bukunya.

Buku ini terbagi menjadi lima bagian utama:

Bab 1 Pintu Depan

Dalam sub judul Pintu Masuk dijelaskan yang dimaksud sastra 3 adalah karya sastra yang memakai format 3 dalah hal ini ada 4 genre yaitu cerpen 3 paragraf, cerita 3 kalimat, puisi 3 bait dan puisi 3 baris. Dalam Sub bab Mengapa 3 dijelaskan tentang filosofi angka tiga dalam berbagai aspek kehidupan termasuk agama, mulai dari struktur sosial hingga tradisi linguistik dari adat Fakfak di Papua yaitu “Satu Tungku Tiga Batu”, sampai Batak di Sumatera yang memiliki karakter 3 warna hitam,putih , merah  lalu kalangan  Jawa dengan istilah angka khusus pada tiga sebutan , 25, 50 dan 60.  Tengsoe Tjahjono mengungkapkan bahwa angka tiga bukan sekadar bilangan, melainkan simbol yang hidup dalam kebudayaan.

 Dalam penjelasan mengenai mengapa sastra 3 antara ada alasan keringkasan bentuk sastra di zaman serba cepat ini dan menjawab kebutuhan penulis dan pembaca untuk menulis praktis dan membaca cepat.

 Masuk sub bab Tuang Tengah dengan pertanyaan Bagaimana proses menulis karya sastra penulis mengibaratkan seorang tukang kayu dalam berkarya, Menulis sastra menurutnya kepintaran mengolah bahan dari kehidupan ini dengan alat Bahasa menjadi karya unik dengan cara mengolah fakta realitas menjadi realitas baru yang sudah dibumbui imajinasi. Realitas baru itu disebut REALITAS IMAJINATIF.

Bab 2 Bilik Pentigraf

Setelah Panjang lebar mengupas bagaimana sebuah karya bernilai sastra, bagaimana seorang penulis mempersiapkan bahan dan mengolahnya dengan baik, maka kita memasuki bilik pentigraf..
Membahas pentigraf sebagai cerita pendek tiga paragraf memiliki aturan berikut :

Jumlah kata Maksimal 210 kata. Hanya boleh ada  satu kalimat langsung dalam setiap  paragraf. Memiliki plot twist yang mengejutkan atau ketakterdugaan.  Mengapa harus 210 kata, inilah mungkin sebagai ciri khas dari pentigraf versi Tengsoe disamping ciri utama genre short-short story atau sekelas falsh fiction yang mempunyai jumlah kata 250 – 1000kata. Ukuran  210 kata untuk pentigraf ini diharapkan tetap mengusung elemen narasi seperti alur, tokoh dan latar. Elemen tersebut hadir tidak berdiri sendiri namun hadir secara utuh,padu dan saling berkelindan ( hal. 61)

Justru ukuran 210 kata ini yang sering membuat penulis tidak sadar menuliskannya berlebih.  Selanjujtnya hanya ada 1 kalimat langsung dalam setiap paragraph, ini dimaksudkan agar penulos tidak terjebak dalam dialog  berkepanjangan dan menyimpang dari tema .

Ciri berikutnya pentigraf memiliki twist yang mengejutkan di bagian akhir cerita. Twist ini sering berupa kejutan atau ketakterdugaan dan ada di bagian akhir atau paragraf ke 3. DI bilik ke 2 pentigraf ini juga disajikan sebuah pentigraf sebagai contoh untuk membuat kejutan atau ketakterdugaan.  Diantara cara membuat kejutan antara lain, membuat tokoh protagonis yang salah, menuliskan alur yang tidak linier, atau tokoh dengan watak yang tak dapat diduga. Apakah boleh menulis pentigraf ditulis secara monolog ? Inilah salah satu hal yang dijelaskan di buku ini bahwa pentigraf yang hanya 3 paragraf ini jika tidak berhati-hati penulis sering terjebak seperti menulis puisi atau menulis monolog. Bagaimana mengatasinya ? Jangan kuatir di buku ini pula disajikan contoh mengatasinya antara lain dengan menyisipkan 1 dialog  di antara paragraf.  DI bilik pentigraf ini juga disajikan 5 contoh pentigraf. Contoh ini sangat bermanfaat untuk pembaca yang ingin memahami dan mendalami pentigraf.

Bab 3. Bilik Tatika

Menjelaskan Tatika, yaitu narasi tiga kalimat yang tetap memerlukan unsur cerita lengkap (tokoh, alur, dan tema). Ciri teknis Tatika antara lain terdiri atas 3 kalimat yang ditulis berkesinambungan dalam satu paragraf. Panjang tatika antara 70 – 75 kata. Focus pada satu tokoh. Ada kejutan di dalamnya. Hanya boleh ada 1 kalimat langsung di dalamnya. Penulis diharapkan menggunakan kata secara efektif karena hanya 3 kalimat. Sekali lagi penulis tatika diinngatkan untuk tidak terjebak dalam karya monolog atau puisi , apalagi jika memakai sudut pandang “Aku.” Sebagai pencerita.

Untuk memudahkan pemahaman tatika di buku ini disajikan 6 contoh tatika, disamping beberapa tatika dalam bab pembahasan.

Bab 4. Bilik Putiba

Model puisi 3 bait dimaksud ada 2 versi.Pertama model 3 bait bebas yaitu dalam tiga bait jumlah barisnya tidak dibatasi, tiap bait mengandung satu ide pokok dan tetap memasukkan unsur diksi, irama seperti pada umumnya.

Versi kedua adalah model tiga bait puisi tiga, dengan ciri terdapat 3 baris dalam setiap bait, terdapat 3 kata dalam setiap baris, mengandung 1 ide pokok di setiap bait dan mengandung unsir diksi dan irama yang terpadu.

Disajikan 9 putiba di bilik ini dan ini cukup untuk bahan pembelajaran, disamping beberapa contoh dalam pembahasan.

Mana yang lebih baik diantara 2 versi tersebut ? Tentu saja semua baik bergantung tujuan. Terdapat gagasan yang tidak dipaksa diolah dalam bentuk putiba tiga, namun lebih cocok jika ditulis dalam bentuk putiba bebas (hal. 101)

Bagaimana gagasan dalam puisi ? Dalam puisi , gagasan disampaikan dengan balutan kata-kata yang diolah dengan rasa, Jadi pikiran dan perasaan berkelindan dalam puisi.

Bagaimana menafsirkan puisi ?

Puisi sebagaimana karya sastra lainnya merupakan dunia simbul, dunia lambing. Karena sebagaidunia lambang puisi  memerlukan  penafsira. Jadi puisi yang baik selalu mengundang penafsiran. Perbedaan penafsiran tidaklah salah senyampang itu didukung oleh data teks. Putiba yang baik selalu mengandung kekayaan makna, kekayaan tafsir, bukan hanya sebuah tafasir Tunggal. ( hal. 108 )

 

Bab 5. Putibar
Menguraikan puisi tiga bait (Putiba) dan tiga baris (Putibar) dengan penekanan pada kedalaman gagasan, bukan sekadar ekspresi perasaan.Ada 2 versi putibar bebas dan putibar tiga.  Ciri teknis putibar bebas adalah terdiri 3 baris dengan jumlah kata  setiap baris menimal 7 kata. Tetap mengandung diksi dan irama dalam perpaduan.. Sedangkan ciri putibar tiga adalah dalam tiga baris itu setiap barisnya terdiri 3 kata.

Berikut 1 contoh putibar tiga karya Herry Lamongan  (hal. 121)

KEPASTIAN

Seperti janji masa

Kitab kan tiba

Di saat senja

 

Di buku ini disajikan 28 contoh putibar di luar contoh yang ada dalam pembahasan. Contoh ini lebih dari cukup untuk memahami dan mendalami  materi puisi khusus putibar.

 

Setelah memasuki 5 ruangan dan bilik di buku ini kita pasti merasakan “semangat baru” dalam menulis berbagai genre, dalam hal ini pentigraf , tatika,putiba dan putibar. Semua serba 3, smua serba singkat, namun padat makna. Semua terasa baru dan sangat menantang, walau sebenarnya pentigraf sudah diperkenalakn oleh Tengsoe sejak tahun 80-an.

 

Buku ini lahir dari beberapa pertanyaan maka pola penulisannya seperti menjawab pertanyaan. Singkat padat dan jika agak Panjang pembahasannya  tetap fokus dan bahasanya ringan mudah dipahami. Sungguh beruntung memiliki buku ini, karena setiap halamannya selalu menggugah pembaca untuk segera menulisnya, baik itu pentigraf maupun genre lainnya.

 

Dalam konteks generasi yang terbiasa dengan konten singkat (seperti tweetreel, atau story), bentuk sastra mini ini memiliki beberapa keunggulan antara lain efisiensi waktu
Pembaca dapat menikmati karya sastra tanpa harus berinvestasi waktu lama.

Kelebihan Buku

  • Pembahasan Komprehensif
    Tengsoe tidak hanya menjelaskan teknik penulisan, tetapi juga memberikan contoh dan analisis mendalam untuk setiap bentuk sastra 3 yang dimaksud. Apalagi saat menjelaskan pentigraf tentang bagaimana ketakterdugaan dalam pentigraf. Beliau mencontohkan satu pentigraf namun berisi beberapa “kejutan” di dalamnya. Inilah salah satu keunggulan bahasan pentigrafnya.  
  • Bahasa yang Terstruktur
    Gaya penulisan formal namun mudah dipahami, cocok untuk pembaca dari berbagai kalangan. Karena tulisannya disusun dengan gaya seperti menjawab pertanyaan, sehingga buku ini seperti hendak menjawab seluruh pertanyaan dengan singkat namun jelas dan dengan beberapa contoh relevan.

Kekurangan Buku,

 Ada satu  catatan yang mungkin terlupakan oleh penulisnya.  Ketika menjelaskan tugas penulis sastra  dalam hal ini pentigraf yaitu mengubah realitas menjadi realitas baru, imajinatif dan lebih kreatif. Harusnya ditambahkan contoh 2 pentigraf yang pertama sajian pentigraf fakta nyata, berupa deskripsi dan kedua pentigraf berisi fakta imajinatif dari pentigraf yang pertama. Contoh pentigraf ini pernah beliau bacakan dalam sebuah zoom beberapa tahun lalu, namun tidak disajikan dalam buku ini.

Buku ini termasuk “buku teori” yang memuat 4 genre sekaligus dalam pembelajaran sastra. Pembahasan yang penting seperti ini harusnya dicetak dalam kertas buku HVS agar terjaga mutu kertasnya, terlihat putih bersih dan berkesan sebagai buku pembelajaran. Kenyataan buku yang saya resensi ini dicetak dalam kertas kuning. Terlihat buram tampilannya.

Simpulan

Berumah dalam Sastra 3 adalah karya penting yang menjembatani tradisi sastra dengan kebutuhan kontemporer. Buku ini tidak hanya cocok untuk penikmat sastra, tetapi juga bagi generasi muda yang ingin mengeksplorasi kreativitas menulis dalam format yang efisien.


Bagu, Loteng, 22 Juni 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar