Oleh : Hariyanto
HP di tangan Barjo bergetar, mengusik pikirannya yang
sudah kalut. "Barjo, bagaimana bisa kamu seceroboh ini? Viral! Gerakan
menentang penambangan makin menggila!" Suara di seberang terdengar penuh
amarah, disertai dentuman meja yang menggema seperti longsoran bukit. Barjo
terdiam, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kesalahannya kini membesar,
menjadi badai yang tak bisa dihentikan.
Sekali lagi, ia harus turun gunung melobi pejabat di Ibukota
dan para penguasa di lapangan. Gelombang protes bergaung dari penjuru negeri,
menyuarakan kehancuran pulau kecil yang dulu indah dan megah. "Stop
penambangan nikel!" spanduk bertebaran, meneriakkan harapan yang dulu juga
pernah ia miliki.
Di tengah kerumunan, Barjo menangkap bayangan dirinya
di kaca mobil yang melintas. Wajahnya semakin kusut, garis-garis lelah makin
menegas, seakan mencerminkan tanah yang tergerus oleh keserakahan. Kemiskinan
masih membayangi, sementara tekanan dari bos besarnya menghimpit tanpa ampun.
Ia bukan lagi pejuang kemajuan, melainkan pion yang terjebak dalam permainan
yang menghancurkan ; baik bagi pulau itu maupun dirinya sendiri.
Bagu Loteng, 9 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar