Oleh : Hariyanto
Di ujung kampung yang tenang, berdiri seorang lelaki tua dengan tubuh bongkok dan langkah tertatih. Topi ala Shodanco tak pernah lepas dari kepalanya, seolah menjadi mahkota dari masa perjuangan yang tak terlupakan. Bekas luka gulatnya dengan tentara Jepang masih membekas di tubuh, tapi semangatnya tetap menyala. Di gerbang rumahnya, dua bendera berkibar berdampingan Merah Putih dan Hinomaru. Bukan tanda pengkhianatan, melainkan simbol sejarah: bahwa kemerdekaan Indonesia lahir dari perut penjajahan, dan ia adalah saksi hidupnya.
Setiap pagi, ia menyusuri jalan kampung, menyapa anak-anak muda dengan suara lantang, “Jangan loyo! Bangsa ini berdiri karena darah, bukan sekadar kata!” Warga kampung memanggilnya "Pak Shodanco", bukan karena pangkat, tapi karena semangat. Ia tak pernah lelah menanamkan cinta tanah air, meski tubuhnya renta. Baginya, patriotisme bukan hanya soal perang, tapi tentang menjaga nyala semangat merdeka dalam hati generasi berikutnya.
Kini, di tengah dunia yang kian lupa pada sejarah, Pak Shodanco berdiri sebagai pengingat hidup. Bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil dari keberanian melawan ketakutan. Ia adalah lambang patriotisme yang tak lekang oleh waktu jùmeski jalannya bongkok, jiwanya tetap tegak.
Bagu, Loteng, 12 Agustus 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar