Minggu, 26 Oktober 2025

Menyelami Ramadan dalam Pentigraf Unik dan Menarik



Oleh Hariyanto

 

Buku berjudul 65 Cahaya Ramadan ini hadir bukan sekadar sebagai kumpulan cerita pendek, melainkan sebagai cermin kecil yang memantulkan wajah Ramadan dalam bentuk yang paling jujur dan manusiawi. Buku karya Telly D. adalah untaian kisah  dalam bentuk cerita tiga paragraf (pentigraf) yang ditulis dengan kelembutan rasa dan ketajaman batin. Dalam setiap kisahnya, pembaca diajak menyelami denyut kehidupan yang sering kali terlewatkan: suara kentongan yang tak lagi disambut, nasi dingin yang ditiup perlahan, sajadah tua yang basah oleh air mata, hingga doa-doa yang tak sempat terucap.

Dengan struktur naratif yang konsisten pengenalan tokoh, konflik, dan refleksi setiap pentigraf terasa utuh meski singkat. Penulis berhasil menyampaikan kedalaman makna dalam ruang yang terbatas, menjadikan setiap cerita sebagai ruang kontemplasi yang sunyi namun menggugah. Ini bukan sekadar teknik menulis yang efisien, tetapi juga bentuk spiritualitas: menyampaikan yang dalam dengan cara yang sederhana.

Tema besar Ramadan dijahit dengan benang-benang halus: keikhlasan, kesabaran, berbagi, rindu, kehilangan, dan pengampunan. Namun yang paling menonjol adalah kepekaan sosial. Buku ini tidak bicara tentang Ramadan dari menara tinggi, tetapi dari lantai rumah-rumah kecil, dari bangku becak, dari dapur yang hanya punya nasi sisa. Ia mengingatkan kita bahwa ibadah bukan hanya soal ritual, tetapi juga soal empati tentang bagaimana kita hadir untuk sesama, bahkan dalam diam.

Tema Ramadan karya Telly D.  mungkin  menjadi satu-satunya buku antologi pentigraf yang ada saat ini.  Selama ini buku antologi pentigraf yang diterbitkan oleh Kampung Pentigraf Indonesia bersama Tengsoe Tjahjono  mengangkat tema seperti lingkungan hidup, korupsi, kepahlawanan, dan belum pernah ada tema Ramadan. Karenanya buku ini menjadi sangat istimewa bukan hanya menambah keragaman temanya tetapi ada satu hal lagi yakni keunikan penyajiannya, Penulis berani memunculkan “gaya baru” model kepenulisannya yang begitu ramping, tapi penuh nilai dan refleksi. Hal ini ditandai dengan adanya twist yang selalu berbentuk monolog atau statement khusus baik secara lahir maupun batinnya, sebagai ungkapan dan sikap dari tokoh yang dimunculkan. Tidak hanya satu atau dua kali model itu diterapkan  di buku ini, namun seluruh pentigraf yang berjumlah 65 (enampuluh lima) itu.

Sejak judul pertama “Ketukan Pertama di Pintu Ramadan,” yang mengisahkan seorang kakek berpuasa sendirian setelah dua tahun ditinggal pergi puteranya, tiba-tiba dikirimi oleh seorang anak tetangga dan diberi sebungkus nasi. Lalu di akhir cerita sebuah refleksi dirinya dengan pernyataan berbunyi Ramadan ternyata tidak pernah datang sendiri selalu membawa harapan, meski hanya dalam sebungkus nasi dan sepotong doa. Sampai judul terakhir “Jangan Pergi Terlalu Cepat” pernyataan di akhir pentigrafnya selalu ada seperti berikut: Ia menunduk dan berbisik kepada langit malam yang mulai penuh gema. “Ramadan… jangan pergi terlalu cepat.” setelah merasakan doa-doanya, ibadahnya belum kelar semua, namun tetiba Ramadan mau selesai.

Beberapa statement yang tak kalah  mengharukan seperti  dalam pentigraf berjudul  “Tetes Air Wudhu” tokoh  Mbah Murti, dalam sunyi yang suci: “Jika ini perpisahan, biarlah aku pamit dalam keadaan suci.” Kemudian  dalam judul  “Sujud Penuh Penyesalan” tokoh Rangga, dalam sujud yang menggigil: “Tuhan, beri aku keberanian untuk minta maaf.”  Dalam pentigraf lainnya “Dzikir di Tengah Dingin” tokoh Ujang, tukang becak yang berdzikir dari luar pagar: “Tuhan… dengarkanlah aku, meski pun aku hanya dari luar.” Penggambaran jiwa yang pasrah, jiwa yang berserah diri digambarkan dalam suasana malam Ramadan akan membuat jiwa pembaca terketuk. Bahkan seperti harapan penulisnya, bacaan seperti ini bisa dijadikan renungan, “Setiap pentigraf ditulis tidak hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungi. Karena kadang, satu kalimat sederhana bisa lebih menggetarkan dari ceramah panjang yang tak menyentuh.”

Tema Ramadan kali ini benar-benar bisa digali secara seksama oleh Telly D. dalam bentuk pentigraf  mulai dari kepekaan sosial, kesabaran, keikhlasan, ibadah, hingga refleksi spiritual. Cerita-ceritanya sangat menyentuh sisi paling manusiawi dari Ramadan: kesunyian, kehilangan, harapan, dan cinta dalam bentuk paling sederhana. Banyak kisah yang menggambarkan nilai-nilai seperti: berbagi dalam kekurangan, menahan amarah dan lapar, sujud penuh penyesalan dan doa yang tertahan. Benar-benar pentigraf yang sarat akan nilai luhur dan budi pekerti.

Aturan tulisan pentigraf  tidak boleh lebih 210 kata, sebagai ciri dari short short story, atau mini story yang digagas oleh Tengsoe Tjahjono ini, menjadikan kesulitan tersendiri terutama untuk pemula. Kebiasaannya adalah  banyak penulis menulis melebihi 210 kata dan harus memangkasnya untuk memenuhi aturan itu. Namun harus diakui Telly D. dapat membuktikan mempu melampaui batasan tersebut dengan sangat baik. Di buku ini semua pentigraf Telly D. ditulis dengan sangat amat teliti dari sisi jumlah katanya yakni tidak ada yang melebihi 210 kata. Justeru menurut saya, karena kepiawaiannya, beliau mampu menulis di bawah  140 kata. Karena faktanya pentigraf paling banyak jumlah suku kata  di buku itu ada dua saja berjumlah 134 kata berjudul “Ketukan Pertama di Pintu Ramadan “ dan “ Tarawih Pertama.” Lainnya berkisar antara 82 (yang  terendah ) sampai dibawah 130 kata. Luar biasa !

Keunikan buku ini dalam penyajian narasi adalah narasi yang diberikan mampu memberikan nilai dan refleksi. Narasinya rata-rata memiliki struktur  yang utuh dan emosional. Mengangkat tema Ramadan dengan cara yang tidak klise. Menyampaikan pesan spiritual tanpa menggurui. Menggunakan simbol dan bahasa yang puitis namun tetap mudah dipahami.

Sedangkan keunikan dalam alur penyusunan bukunya pun ,yakni membagi tiga bagian, layaknya bulan Ramadan dalam beberapa periwayatan Hadits Nabi setiap 10 hari dari pertama Rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka. Telly D. bertutur  dalam prakatanya, “Secara garis besar, buku ini terdiri atas 65 pentigraf yang dibagi dalam tiga bagian utama.

Bagian pertama berisi 20 pentigraf dari 10 hari pertama Ramadan, yang memotret semangat awal, harapan, dan suasana religius yang menghangatkan. Bagian kedua, 20 pentigraf dari 10 hari pertengahan Ramadan, berisi ketegangan, ujian, pergulatan batin, dan godaan yang makin menguat. Bagian ketiga, 25 pentigraf dari 10 hari terakhir Ramadan, menyuguhkan refleksi paling dalam tentang rindu, pengampunan, kematian, malam-malam ganjil, dan perpisahan. Penataan seperti ini jelas sudah dirancang secara kreatif untuk lebih menajamkan pemahaman pembacanya dan sekaligus membuat buku ini unik dan menarik.  

Yang patut diapresiasi adalah keberagaman tokoh dan latar yang dihadirkan. Dari anak kecil yang belajar puasa, remaja yang salah dalam gerakan salat, ibu tunggal yang menjual kolak, hingga kakek tua yang menyapu masjid—semuanya hadir sebagai manusia utuh, dengan luka dan harapannya masing-masing. Tidak ada yang diagungkan, tidak ada yang direndahkan. Semua diberi ruang untuk bersinar dalam keterbatasannya.

Buku ini layak menjadi teman refleksi selama Ramadan, bukan hanya karena isinya yang menyentuh, tetapi karena ia mengajak kita untuk jujur pada diri sendiri. Ia tidak menawarkan solusi instan atau nasihat moral yang menggurui. Ia hanya menyodorkan cermin dan membiarkan kita melihat diri kita sendiri di dalamnya.

Dari semua itusaya berani menegaskan bahwa 65 Cahaya Ramadan  adalah karya yang tidak hanya ditulis dengan pena, tetapi dengan air mata, senyum, dan zikir yang pelan. Ia mengingatkan kita bahwa Ramadan bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang terus mencoba pulang meski dengan langkah yang tertatih.

Akhir kata, selamat menikmati buku ini. Semoga buku ini menjadi cahaya kecil yang menuntun kita menuju cahaya yang lebih besar. Aamiin.

Bagu , Loteng NTB, 10 Juli 2025

*Drs. Hariyanto adalah seorang penulis pentigraf,  berasal dari kota Blitar, saat ini sedang di Lombok Tengah NTB.  Ia sudah menulis dua antologi pentigraf  berjudul  “Kisah 40 Hari Menulis Pentigraf"  dan “Seri Guru Menulis; 100 PENTIGRAF  KLASTER BICARA.” (2022).

 

 

Sebuah Paket Istimewa dari Yogya ke Lombok

 


Oleh : Hariyanto

 

Pekan ini, hati saya dipenuhi syukur dan haru. Sebuah paket istimewa dari sebuah penerbitan di Yogyakarta akhirnya tiba dengan selamat di tangan saya di Lombok. Di dalamnya, tersimpan dua buah buku yang masih baru dan terbungkus rapi—sebuah hadiah yang sangat berarti.

 

Dua buku itu adalah “Kartini Zaman Kini: 45 Tangan Menjaga Cahaya” dan“65 Cahaya Ramadhan: Pentigraf dari Senyap Sahur hingga Malam Qodar”, karya Bunda Telly D, penulis favorit kami di Rumah Virus Literasi (RVL). Buku-buku antologi pentigraf (cerita pendek 3 paragraf) ini merupakan kumpulan karya kreatif dari grup RVL yang disusun dengan apik dan dibimbing langsung oleh guru kami, Dr. Moch. Khoiri, M.S.i.

 

Secantik Sampul, Sebermakna Isi

 

Sampul buku ini langsung mencuri perhatian. Terbuat dari kertas art paper tebal yang mengilap, membuat warna dan desainnya tampak "pop" dan elegan. Sampulnya memiliki lidah yang dilipat di kedua sisi—depan untuk judul, belakang untuk biografi penulis beserta foto. Sensasi memegangnya pun terasa istimewa.

 

Namun, keistimewaannya tidak berhenti di fisik. Isi buku ini sungguh luar biasa. Sebagai model bagi penulis pemula atau pengajar sastra, pola tiga paragrafnya sangat jelas: paragraf pertama untuk pengenalan, kedua untuk konflik, dan ketiga untuk penyelesaian. Berbagai tokoh dan persoalan kehidupan diungkap dengan padat dan penuh makna.

 

Sebuah Kehormatan untuk Ikut Mengantar

 

Saya merasa sangat terhormat diberi kepercayaan untuk menulis kata pengantar dan menjadi editor bersama untuk buku “65 Cahaya Ramadhan”. Buku ini adalah buku ke-4 dari impian Bunda Telly D untuk menerbitkan 10 antologi pentigraf.

 

Melalui ulasan singkat ini, ijinkan saya memperkenalkan buku yang ditulis dengan sepenuh hati ini kepada khalayak. Semoga “65 Cahaya Ramadhan” dan “Kartini Zaman Kini” dapat sukses menyentuh hati setiap pembacanya. Karena saya tahu buku ini ditulis dengan penuh dedikasi dan sepenuh hati.

 

Selamat atas terbitnya, Bunda Telly D! Semoga bukunya berkah dan menginspirasi. Aamiin.

 

Bagu, Loteng, 26 Oktober 2025






Selasa, 26 Agustus 2025

Pentigraf : Senyum di Balik Rompi Orange



Oleh : Hariyanto

Pagi itu, kantor megah di pusat kota mendadak ramai bukan karena rapat penting, tapi karena penyergapan KPK. Seorang pejabat tinggi yang selama ini dielu-elukan karena “prestasi pembangunan” digiring keluar dengan rompi oranye. Di balik meja kerjanya yang mewah, ditemukan bukti suap ratusan miliar, lengkap dengan daftar nama yang ikut menikmati remah-remah kekuasaan. Aroma parfum mahal bercampur dengan bau busuk pengkhianatan.

 

Yang membuat geger bukan hanya jumlah uang yang disita, tapi ekspresi sang pejabat saat keluar dari gedung: tersenyum. Senyum yang tidak tahu malu, seolah sedang menerima penghargaan, bukan digiring ke tahanan. Kamera menyorot wajahnya, dan dalam hitungan menit, media sosial meledak. “Senyum setan,” tulis netizen. “Mungkin dia pikir ini audisi sinetron,”  Warganet tak lagi marah, mereka muak.

 

Di ruang tahanan, ia duduk tenang, masih dengan senyum tipis. “Saya hanya menjalankan sistem,” katanya pada wartawan. Ironisnya, sistem yang ia maksud adalah sistem amplop, sistem bisik-bisik, sistem tutup mata. Di luar, rakyat masih antre beras subsidi. Tapi di dalam, senyum itu tetap abadi seperti noda yang tak bisa dicuci dari wajah kekuasaan.

 

Bagu, Lombok Tengah, 27 Agustus 2025

Catatan Pentigraf "Gagal Pentas" karya Endang Dres



Oleh : Hariyanto



Mari kita perhatikan pentigraf karya Bunda Endang Dres berikut ini : 

GAGAL PENTAS 

Oleh Endang DRES 


Seperti biasanya Padukuhan wilayah kami tiap tanggal 17 Agustus menyelenggarakan upacara dengan pembina upacara Dukuh kami.


Pagi itu Bunga seorang instruktur senam juga budayawan ingin tampil totalitas usai upacara HUT ke 80 RI. Bunga yang cantik mengenakan kostum nenek jadul yaitu berkain kebaya, menggendong "kêcohan" tidak lupa makan sirih lalu membersihkan dengan segenggam tembakau yang masih ditahan di mulutnya. Bunga berjalan keluar hendak naik motor menuju tempat upacara. Namun pandangan berkunang- kunang berkeringat dingin dan lemas tak berdaya. Oleh keluarganya dibawa ke UGD terdekat. Hasil pemeriksaan medis ternyata keracunan tembakau yang dipakai untuk "susuran". 


Dokter memberikan pertolongan dengan gesit akhirnya terselamatkan. Waktu telah menunjukkan pukul 11.00

Upacara telah selesai. Hatinya kecewa dan sedih karena pusingnya belum hilang. Ih...namanya juga salah tembakau ternyata yang dipakai tembakau untuk rokok.

Astaghfirullah…


Pentigraf “Gagal Pentas” ini  sudah memiliki fondasi cerita yang kuat dan menghibur, namun ada beberapa masukan berikut yang bisa membuatnya lebih menarik lagi.

Pentigraf ini sudah benar strukturnya 3 paragraf, tokoh dan alurnya jelas dan begitu lancar penuturannya. Hal mengesankan seperti ini biasanya didapat jika idenya diperoleh dari kisah nyata. Penulis Endang Dres berhasil menyajikannya dalam bentuk pentigraf. 

Catatan Pertama tentang struktur pentigraf. Secara umum, pentigraf terdiri dari tiga paragraf mempunya fungsi yang berbeda:

1. Paragraf pertama: pengantar atau latar cerita

2. Paragraf kedua: konflik atau masalah utama

3. Paragraf ketiga: penyelesaian, twist, atau penutup yang mengejutkan

Struktur ini penting untuk dipegang dan dijadikan pedoman setiap kali menulis sebuah pentigraf. Contoh kasus di atas adalah salah penempatan kalimat dalam struktur pentigraf.

Kalimat "Hasil pemeriksaan medis ternyata keracunan tembakau yang dipakai untuk 'susuran'" mengandung unsur pengungkapan, sehingga secara struktur lebih cocok ditempatkan di paragraf ketiga sebagai bagian dari twist atau penyelesaian. Jika kalimat tersebut dimunculkan terlalu awal (di paragraf kedua), maka ketegangan cerita bisa berkurang karena pembaca sudah mengetahui penyebabnya sebelum klimaks tercapai.

Sebagai alternatif, paragraf kedua bisa fokus pada gejala yang dialami Bunga misalnya pandangan berkunang-kunang, keringat dingin, dan dibawa ke UGD tanpa langsung mengungkap penyebabnya. Lalu, paragraf ketiga bisa menjadi momen “ jawaban “ ketika dokter mengungkap bahwa Bunga keracunan tembakau rokok, bukan tembakau susuran. Ini akan memperkuat efek kejutan dan membuat twist lebih terasa.

Disarankan memindahkan kalimat tersebut ke paragraf ketiga akan membuat alur cerita lebih tajam dan sesuai dengan kaidah penulisan pentigraf. 

Berikut saran revisinya

GAGAL PENTAS

Oleh Endang DRES 


Seperti biasanya, Padukuhan wilayah kami setiap 17 Agustus menyelenggarakan upacara kemerdekaan dengan pembina upacara Dukuh kami. Tahun ini terasa istimewa karena Bunga, seorang instruktur senam sekaligus budayawan, berencana tampil totalitas dalam balutan kostum nenek zaman dulu: berkain kebaya, menggendong kêcohan, dan membawa sirih serta tembakau sebagai pelengkap peran.


Pagi itu, Bunga bersiap menuju lokasi upacara. Namun belum sempat menyalakan motor, tubuhnya mendadak lemas, berkeringat dingin, dan pandangan berkunang-kunang. Keluarganya panik dan segera membawanya ke Unit Gawat Darurat terdekat. Upacara tetap berlangsung, tetapi Bunga terbaring tak berdaya, kecewa karena gagal tampil dalam momen yang telah ia persiapkan dengan sepenuh hati.


Menjelang siang, dokter menyampaikan hasil pemeriksaan: Bunga mengalami keracunan tembakau. Ternyata, tembakau yang ia gunakan bukan untuk susuran, melainkan tembakau rokok yang lebih keras dan berbahaya jika dikunyah. Ia hanya bisa tersenyum pahit sambil bergumam, “Astaghfirullah... salah tembakau.”

Catatan kedua, membuat twist bukan sekedar menjawab persoalan atas konflik di paragraf ke 2, namun tambahkan kejutan berupa dialog monolog dari “ tokohnya.” Di bagian saran revisi ini dialog berupa ucapan Bunga yang bergumam “Astaghfirullah... salah tembakau.” Ini adalah dialog fisik, bisa juga berbentuk dialog batin. Pernyataan kalimat langsung seperti ini sangat penting ditulis sebagai twist karena yang mengandung refleksi dari tokohnya. Refleksi dalam sebuah pentigraf untuk menunjukkan perubahan sifat atau sikap yang lebih baik dari sang tokoh. 

Hal demikian sering dilakukan oleh pentigrafis senior, kalau disini bisa dilihat pentigraf yang ditulis Bunda Telly dan kawan- kawan. Lihat bagian akhir paragraf ke 3 nya, sering berupa dialog. Mengapa itu terjadi ? Karena dialog monolog itu cara paling mudah untuk menjelaskan perubahan yang terjadi terutama untuk menunjukkan sifat dan sikap akhir dari sang tokoh. 

Demikian sekedar 2 catatan dari Pentigraf “Gagal Pentas” karya Endang Dres. Semiga bermanfaat. Terus semangat menulis pentigraf. 


Bagu Loteng, 26 Agustus 2026.



Kamis, 14 Agustus 2025

Pentigraf : Merah dan Putih Bendera Bajak Laut

 


Oleh: Hariyanto

Di kampung Mahardika yang sejuk dan tenang, hidup seorang kakek bernama Sarno, veteran tua yang pernah bertaruh nyawa melawan penjajah Belanda demi kemerdekaan Indonesia. Setiap bulan Agustus, semangat perjuangannya bangkit kembali. Dengan tongkat dan suara lantang, ia berkeliling kampung, mengetuk pintu demi pintu, mengingatkan warga untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Baginya, bendera itu bukan sekadar kain, melainkan lambang pengorbanan dan harga diri bangsa. Namun, zaman telah berubah. Banyak warga, terutama anak muda, mulai menganggapnya cerewet dan kuno.


Suatu pagi menjelang 17 Agustus, Kakek Sarno tertegun melihat sebuah bendera hitam bergambar tengkorak berkibar di halaman rumah cucunya, Raka. Dadanya sesak, pikirannya melayang ke masa perang, ketika melihat bendera musuh berarti ancaman. Dengan langkah gemetar, ia mendatangi rumah itu, bersiap menegur keras. Raka menyambutnya dengan senyum dan berkata, “ Tenang Kek. Ini bukan pemberontakan. Ini bendera bajak laut dari anime One Piece. Merah Putih tetap saya kibarkan di atasnya.” Kakek Sarno terdiam, mencoba memahami dunia yang sedang berubah.


Malam harinya, Raka mengajak sang kakek ke lapangan kampung. Di sana, anak-anak muda membuat mural besar , Merah Putih berdampingan dengan simbol One Piece, bertuliskan “Kemerdekaan adalah kebebasan memilih.” Kakek Sarno menatap mural itu lama, lalu tersenyum. Ia sadar, semangat perjuangan tak mati, ia hanya berganti rupa, mengikuti zaman, tapi tetap berakar pada cinta tanah air.



Rabu, 13 Agustus 2025

Pentigraf : Bambu Runcing dan Doa Ibu



Oleh : Hariyanto


Di tengah kobaran semangat jihad yang menggema dari masjid-masjid Surabaya, Suryono berdiri di halaman pesantren dengan bambu runcing di tangan. Ia bukan santri, tapi datang dari kampung sebelah, terpanggil oleh seruan ulama: “Berjihad melawan penjajah adalah kewajiban!” Bambu runcingnya telah diberi doa oleh Kiai Hasyim, yang memimpin para pemuda dengan takbir dan keberanian. Di belakangnya, Bu Lastri, sang ibu, menatap dengan rasa kuatir.


Sebelum berangkat Bu Lastri memeluk erat Suryono. “Kalau kau gugur, gugurlah sebagai pejuang,” katanya sambil menyelipkan kain doa ke dalam saku anaknya. Di jalanan Surabaya, suara mortir dan senapan mesin Sekutu menggema. Tapi para pejuang tak gentar. Mereka hanya bersenjata bambu runcing, semangat kemerdekaan, dan keyakinan bahwa jihad mereka suci. Suryono berlari bersama ratusan pemuda, menerjang tank dan peluru dengan takbir yang menggema lebih nyaring dari ledakan.


Malam itu, Bu Lastri duduk di beranda rumah yang mulai retak oleh getaran bom. Ia tak tahu apakah anaknya masih hidup. Tapi ia tahu, doa para ibu dan restu para ulama telah menjadikan bambu runcing itu lebih tajam dari baja. Pagi harinya, seorang santri datang membawa kabar: Suryono selamat, meski terluka. Bu Lastri menangis, bukan karena luka anaknya tapi karena tahu anaknya telah menjadi bagian dari sejarah Surabaya yang tak akan pernah dilupakan.


Bagu, Loteng, 13 Agustus 2025


Selasa, 12 Agustus 2025

Pentigraf: Sang Shodanco di Gerbang Merdeka

Oleh : Hariyanto

Di ujung kampung yang tenang, berdiri seorang lelaki tua dengan tubuh bongkok dan langkah tertatih. Topi ala Shodanco tak pernah lepas dari kepalanya, seolah menjadi mahkota dari masa perjuangan yang tak terlupakan. Bekas luka gulatnya dengan tentara Jepang masih membekas di tubuh, tapi semangatnya tetap menyala. Di gerbang rumahnya, dua bendera berkibar berdampingan Merah Putih dan Hinomaru. Bukan tanda pengkhianatan, melainkan simbol sejarah: bahwa kemerdekaan Indonesia lahir dari perut penjajahan, dan ia adalah saksi hidupnya.


Setiap pagi, ia menyusuri jalan kampung, menyapa anak-anak muda dengan suara lantang, “Jangan loyo! Bangsa ini berdiri karena darah, bukan sekadar kata!” Warga kampung memanggilnya "Pak Shodanco", bukan karena pangkat, tapi karena semangat. Ia tak pernah lelah menanamkan cinta tanah air, meski tubuhnya renta. Baginya, patriotisme bukan hanya soal perang, tapi tentang menjaga nyala semangat merdeka dalam hati generasi berikutnya.


Kini, di tengah dunia yang kian lupa pada sejarah, Pak Shodanco berdiri sebagai pengingat hidup. Bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil dari keberanian melawan ketakutan. Ia adalah lambang patriotisme yang tak lekang oleh waktu jùmeski jalannya bongkok, jiwanya tetap tegak.


Bagu, Loteng, 12 Agustus 2025


Jumat, 11 Juli 2025

Pentigraf : Dentuman, Warung Kopi di Tengah Candaria


 

Oleh : Hariyanto

 

Warung kopi Pak Ridwan mendadak jadi tempat sidang rakyat. Para bapak duduk melingkar, membahas tragedi hajatan minggu lalu: satu jendela rumah pecah, satu ayam mati mendadak, seorang kakek tertimpa genteng tepat  di kepalanya. Semua gara-gara sound horeg yang disebut warga sebagai "kilat dalam bentuk speaker". “Itu bukan hiburan, itu senjata sonik!” seru Bang Ujang sambil menyeruput kopi hitam, tak sadar ampasnya nyaris masuk hidung.

 

Pakde Warto menimpali, “Kalau dulu hajatan cuma bikin telinga berdenging, sekarang bikin genteng ikut joget!” Gelak tawa pecah. Bahkan bocah-bocah yang mengintip dari luar ikut tertawa saat Pak Ridwan cerita pelanggan kehilangan gigi palsu gara-gara getaran  sound horeg.

 

Namun tiba-tiba sebuah peristiwa terjadi saat bersamaa tawa mereda. Gelas-gelas di atas meja mulai bergoyang. Kopi tumpah, kursi bergeser sendiri. Wajah-wajah panik berhamburan keluar warung pak Ridwan. Bang Ujang teriak, “Sound horeg balik lagi!” Orang-orang pun pada berlarian keluar rumah, sambil berteriak kepanikan. Lama mereka baru menyadari, setelah terduduk lemas di tepi jalan bahwa telah terjadi gempa yang cukup keras. 

Senin, 07 Juli 2025

Pentigraf : Nama Ayah dan Warisan yang Tak Kuhendaki

 


Oleh: Hariyanto

 

Sejak kecil, aku selalu bangga saat teman-temanku tahu ayahku seorang polisi. Di foto-foto lama, ia tampak gagah berseragam, menggendongku di depan rumah. Ibu sering bercerita bahwa ayah adalah orang yang tegas tapi penyayang. Tapi semua berubah saat aku berusia sepuluh tahun. Ayah menghilang. Ibu hanya bilang, “Ayahmu sedang menjalani hukuman.” Aku tak mengerti.

 

Saat remaja, aku mulai mencari tahu. Internet menyimpan lebih banyak kebenaran daripada yang ibu pernah ceritakan. Ayah bukan polisi. Ia hanya pria yang menyamar, menipu banyak orang termasuk ibu. Ia menikahi ibu dengan nama palsu, seragam palsu, dan janji-janji yang tak pernah nyata. Ibu tak pernah menikah lagi. Ia terlalu malu, terlalu hancur.

 

Kini aku dewasa. Di KTP-ku, kolom “ayah” tetap terisi namanya. Tapi setiap kali kutatap nama itu, aku tak tahu harus merasa apa. Marah? Malu? Atau kasihan? Yang kutahu, aku lahir dari kebohongan. Tapi aku bertekad hidup dengan kejujuran. Karena satu-satunya warisan yang kutolak adalah seragam yang tak pernah benar-benar ia miliki.

Minggu, 06 Juli 2025

Pentigraf : Bayiku Diambil


 

Oleh: Hariyanto

 

Aku melahirkan di klinik kecil di pinggir kota, sendirian. Tak ada suami, tak ada keluarga. Bidan Rasti menyambutku dengan senyum manis dan suara lembut. Tapi setelah rasa sakit itu reda, aku tak pernah melihat bayiku. “Maaf, bayimu tak selamat,” katanya singkat. Aku menangis, tapi tak diberi kesempatan memeluknya. Bahkan jenazahnya pun tak kutemukan. Hanya selembar surat kematian yang terasa dingin di tangan.

 

Aku mencoba melupakan, tapi mimpi buruk terus datang. Lalu aku bertemu seorang relawan LSM yang mendengarkan ceritaku. Ia bilang aku bukan satu-satunya. Ada banyak ibu muda lain yang mengalami hal serupa. Kami sedang menyelidikinya dan mencari bukti-bukti kuatnya. Menyusun potongan-potongan kasus yang selama ini tersembunyi di balik senyum manis Bidan Rasti.

 

Sampai suatu hari, kami menemukan seorang bayi di kota lain. Wajahnya… seperti cermin kecil dari wajahku. Tes DNA membuktikan: dia anakku. Bidan Rasti ditangkap. Di pengadilan, ia hanya menatapku dan berkata, “Kau bahkan tak tahu cara merawatnya. Aku memberinya kehidupan  yang lebih baik padanya .” Tapi bagiku,….itu pencurian.

Sabtu, 05 Juli 2025

Pentigraf : Ijazah Palsu yang Ditahu Isteri

 


Oleh: Hariyanto

 

Damar bekerja di perusahaan negara dengan gaji besar dan fasilitas lengkap. Ia dihormati, dan dianggap cerdas, karenanya  sering diundang memberi pelatihan. Padahal, ijazah sarjana teknik yang ia gunakan saat melamar kerja dulu palsu. Tapi siapa peduli? Semua terlihat sempurna. Istrinya, Livia, hidup glamor: tas bermerek, pesta sosialita, dan liburan ke luar negeri. Semua bisa diwujudkan dengan karirnya tersebut.

 

Setiap kali audit datang, Damar sering was-was dan  cemas. Tapi anehnya  ia selalu lolos. Ia paling berani menyuap petugas, memanipulasi data,.  Sebagai penenang diri Ia  sering, mengucapkan  kalimat “Yang penting aku bekerja sungguh-sungguh.” Livia selalu tampak bahagia dan  menikmati kemewahan tanpa banyak  tanya.  Ada senyuman yang tersembunyi dibalik  gaya hidup mewah yang sering memamerkan berlian baru dan tas brandednya.

Suatu pagi, beredar kabar menghebohkan  Damar ditangkap. Bukan karena ijazah palsu, tapi karena pencucian uang dan korupsi proyek. Semua bukti mengarah padanya. Di ruang tahanan, Livia datang, tersenyum dingin. “Maafkan Aku  Mas, Aku tahu ijazahmu palsu sejak awal. Tapi aku butuh pijakan sebelum dirimu jatuh.” Damar tidak percaya dengan omongan isterinya dan ia terlambat menyadari. Sejak itu Livina tidak pernah mengunjunginya lagi.

 

Jumat, 04 Juli 2025

Pentigraf : Langkah Akhir Amira

 

Oleh: Hariyanto

 

Dua wanita muda berhijab melangkah tenang di lorong kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Amira dan Salwa, sahabat sejak kuliah, baru saja kembali dari Malaysia. Penampilan mereka rapi, senyum mereka ramah, tak ada yang mencurigakan. Namun, petugas bea cukai yang jeli melihat gelagat aneh saat mereka melewati pemeriksaan. Setelah pemeriksaan menyeluruh, ditemukan paket kecil narkoba tersembunyi di bagian paling sensitif tubuh mereka. Seketika suasana berubah. Amira gemetar, Salwa menangis tertahan.

 

Di ruang interogasi, cerita mereka mengalir seperti luka yang dibuka paksa. Amira, seorang ibu tunggal, berjuang sendirian membiayai pengobatan anaknya yang mengidap leukemia stadium lanjut. Salwa, yang tak tahan melihat penderitaan sahabatnya, memutuskan ikut dalam rencana gila itu. Mereka dijanjikan uang cukup untuk menutup seluruh biaya rumah sakit. Hanya satu kali perjalanan, kata si perekrut. Mereka tahu ini salah, tapi keputusasaan telah membutakan padangannya.

 

Saat penyidik menyampaikan kabar bahwa anak Amira meninggal dunia dua hari sebelum mereka tiba, tubuh Amira ambruk. Ia menjerit, memanggil nama anaknya, seolah berharap waktu bisa diputar kembali. Salwa memeluknya, menangis bersamanya. Mereka tak sempat menyelamatkan nyawa yang ingin mereka perjuangkan. Kini, yang tersisa hanyalah penyesalan dan jeruji besi yang menanti.

 

Bagu Loteng, 4 Juli 2025

Rabu, 02 Juli 2025

LATIHAN (MENULIS) PENTIGRAF



 Oleh ; Hariyanto 

           Tulisan ini terinspirasi dari tulisan  Bunda Daswatia di Grup RVL Selasa 1 Juli 2025,  yang menuturkan bahwa tugas penulis pentigraf adalah menyajikan fakta yang sudah diolah menjadi fakta baru, yaitu fakta imajinasi. Fakta baru ini memungkinkan untuk dikembangkan menjadi banyak tulisan dengan formula “matematika” yaitu menggunakan variable, dan mengubah variabelnya sehingga memungkinkan menghasilkan berbagai variable. Dengan contoh tulisan bertokoh Bu  Endang menjadi Tukang  Penambal Ban dengan tema sama kebohongan Ijazah.

Intinya “ Jika variable Bu Endang itu saya substitusikan dengan variable lain , maka saya akan menghasilkan pentigraf sebanyak variable yang saya inginkan.” Demikian tulisnya. Beliau mengaku sudah mencoba dan sukses.

Karena itu saya pun mencoba menerapkannya dan saya sebut sebagai Latihan (menulis) pentigraf.

Berikut penjelasannya .

 

Sampai saat ini saya belum menemukan buku panduan khusus  berlatih menulis pentigraf,  kecuali pedoman yang ditulis Tengsoe Tjahjono  “Berumah dalam Sastra 3’ dan “Meneroka Dapur Pentigraf.” Mungkin pembaca sudah ada yang menemukan ? Kedua buku itu ditulisa saling melengkapi, selain untuk mengenal teori sastra, juga pentigraf disajikan banyak contoh di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya apakah kita cukup dengan membaca kedua buku lalu membuat kita piawai menulis pentigraf ? Jawabannya pasti berbeda-beda.

Ada yang belum pernah sama sekali, membaca kedua buku tersebut, nyatanya bisa menulis dengan baik, ada pula yang sudah membacanya menjadikannya lebih baik. Tetapi satu hal yang pasti adalah berlatih menulis pentigraf adalah jalan keluar paling baiknya.  Hal ini sering disampaikan oleh Tengsoe dalam berbabagai kesempatan pelatihan zoom. Berlatih dan berlatih.

Bahan tulisan sudah ada, yaitu berbagai fakta di sekitar kita, beberapa periristiwa viral, mencekam dan dramatis selalu ada setiap hari. Ada di media sosial dan kehidupan sehari-hari. Semua tersedia, dan adakah yang meragukan keberadaannya ? Selangkah lagi mengolah dengan ketrampilan bahasa dibalut pengalaman hidup, dijadikan fakta imajinasi dan disusun dalam 3 paragraf. Begitu sederhananya jalan kepenulisan sebuah pentigraf itu terjadi. 

Masih ragu menulis dan belum juga memahami sepenuhnya. Melalui grup RVL  banyak pentigrafis (= (=Sebutan penulis pentigraf) selalu bersedia memberi  solusi. Bunda Daswatia salah satunya, dapat dikatakan berkarya menulis pentigraf  setiap hari dan selalu bisa kita baca bersama. Beliau juga sering tanpa diminta menjelaskan berbagai formulanya. Bunda Astuti termasuk duo pang yang tak kalah produktifnya, mereka semua bisa menulis pentigraf sehari lebih dari 1, bahkan dalam grup latihan tak jarang 4 sampai 5 karya bisa muncul.  Dan satu catatan disini, mereka selalu berlatih dan berlatih.

Apakah ada buku panduan praktisnya? Sama seperti kegiatan menulis lainnya, penduan menulis umumnya sama, walau tujuannya berbeda, misal menulis cerpen,novel,puisi,berita dll. Dan pedoman umum ini banyak ditulis oleh founder kita Moch Khoiri dengan berbagai buku antara lain SOS ( Sopo Ora SIbuk) tetap saja harus banyak berlatih kunci untuk menjadi penulis handal termasuk pentigraf . Pesan baiknya di buku SOS antara lain :

Bagaimanapun menulis di tahap awal selalu sulit. Percayalah jika dilatih secara terus menerus akan menjadi sempurna. Niat menulis yang kuat menjadi energi dahsyat untuk melampaui rintangan dan tantangan dengan gemilang. Buku ini banyak memberikan inspirasi yang tak pernah basi. Segalanya berubah tatkala Anda berubah. Tetap semangat, jangan terlena. Menulis itu berbagi. Berbagi itu beramal jariyah. Amal jariyah ilmu tiada putus. Buku ini juga memberikan penguat, berkaryalah dengan sepenuh hati. Jangan terlalu terikat dengan aturan menulis. Mulailah menulis, biarkan mengalir sampai jauh.

Bagaimana bisa menangkap ide fakta dan sekaligus menulisnya dengan kritis dalam bentuk pentigraf ? Bagaimana model latihannya. Sebenarnya ini berdasarkan pengalaman, dan atau bahkan saya sempat membaca tulisan Bunda Daswatia di grup ini tentang kisah belajar menulisnya pada Abah Khoiri founder grup kita, Bagaiamana membuat tulisan kita semakin tajam, dan bagaimana model latihannya. Saya bocorkan rahasianya disini.

1)  Langkah pertama, buatlah satu tema tertentu dan satu topik tertentu pada tulisan pentigraf.

2)    Langkah kedua, dari pentigraf pertama, pikirkannya beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya, termasuk badan atau pun hal pengaruh lainnya yang ada di cerita tersebut.

3)     Langkah ketiga, dari jumlah yang ditemukan di langkah 2 tersebut, jadikan sejumlah pentigrafnya. Jadi misalkan menemukan 4 tokoh atau termasuk Lembaga maka buatkan 4 pentigrafnya. Buatkan pentigraf dari sudat pandang masing-masing tokoh tersebut.Hasilnya …..? Nanti akan kita temukan tulisan  mirip ceritanya tapi akan tetap dikenali perbedaannya karena perbedaan sudut pandang.

4)      Langkah 2 dan 3 di atas bisa disederhanakan menjadi 2 jika ingin simple yaitu cerita dari sudat pandang orang 1 dan orang ke 2. Maka mulai sekarang berpikirlah jika menulis satu pentigraf, pikirkanlah satu lagi dari sudut pandang ke 2, sehingga minimal ada 2 pentigraf.

5)  Segeralah mencoba dan setelah sering berlatih insyaAllah akan menemukan ketrampilan yang menyenangkan, yaitu kemudahan mengolah pentigraf dari berbagai sudut pandang

Ini adalah resep yang mungkin tidak tertulis di buku pedoman berlatih pentigraf, tapi percayalah  sudah dilakukan oleh pentigrafis yang selalu belajar dan belajar, berlatih dan berlatih.

 

Berikut materi pentigraf untuk Latihan:

Saya sajikan 1 judul , 1 tema dan 2 sudut pandang…..Tantangannya adalah buatlah satu atau lebuh lagi dari sudut pandang yang berbeda. 

 


Pentigraf Latihan :

Judul ;  Mimbar Terlarang

Tema  : Keadilan

Penti yang sudah dibuat dari 2 sudut pandang : Pengurus Masjid dan Aparat.

Tugas buatlah 1 atau lebih dari sudut pandang yang berbeda…

Ada alternatif jawaban sudut pandang yang bisa dibuat

1.       Dari sudut pandang Pengurus masjid

2.       Dari sudut pandang Perusahaan

3.       Dari sudut pandang jamaah

 

SELAMAT MENCOBA.

SEMOGA BERMANFAAT. AAMIIN.

 

Bagu, Lombok Tengah, 3 Juli 2025.

 

LAMPIRAN  TUGAS;

 

1.       Sudut pandang Ustadz

 

Mimbar Terlarang

Karya: Hariyanto

 Aku berdiri di mimbar itu bukan untuk mencari musuh, tapi untuk menyampaikan amanah. Ayat-ayat tentang keadilan dan tanggung jawab manusia atas bumi bukan sekadar bacaanitu peringatan. Maka aku bicara tentang tambang, tentang tanah yang digadai demi keuntungan segelintir orang, tentang rakyat yang kehilangan hak atas air dan udara. Aku tahu risikonya. Tapi diam adalah pengkhianatan.

 

Ketika mereka datang malam itu, aku sudah siap. Tak ada perlawanan, hanya doa dalam hati agar kebenaran tetap hidup. Di ruang tahanan, aku mendengar kabar: ceramahku menyebar, anak-anak muda mulai bertanya, masyarakat mulai bersuara. Aku tersenyum. Ternyata, mimbar yang mereka larang justru membuka lebih banyak ruang untuk suara-suara lain tumbuh.

 

Kini aku berceramah di teras rumah, di sawah, di warung kopi. Tak ada pengeras suara, tapi ada telinga yang lebih terbuka. Aku tak menyesal. Karena aku percaya, selama bumi masih berputar dan langit masih bersaksi, kebenaran akan selalu menemukan jalannya meski harus melewati jalan terjal.


2.       Sudut Pandang Aparat

 

Mimbar Terlarang

Karya: Hariyanto

 

Aku berdiri di barisan belakang masjid saat Ustadz Rahman berceramah. Bukan karena ingin mendengar, tapi karena tugasku memantau. Ia bicara tentang tambang, tentang kerakusan, tentang keadilan yang dibungkam. Kata-katanya tajam, tapi tak ada kebencian, hanya kejujuran yang menyakitkan. Aku tahu atasan tak akan suka. Dan benar saja, malam itu perintah turun: tangkap dia, segera.

 

Aku ikut dalam tim penjemputan. Ustadz Rahman tak melawan. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Saya sudah tahu ini akan datang.” Di dalam mobil, suasana hening. Aku ingin bertanya, ingin bilang bahwa aku hanya menjalankan tugas. Tapi entah kenapa, rasanya seperti mengkhianati sesuatu yang lebih besar dari perintah.

 

Beberapa minggu kemudian, ceramahnya viral. Nama Ustadz Rahman jadi simbol perlawanan. Dan aku, yang dulu merasa netral, mulai merasa bersalah. Aku lihat warga mulai bergerak, mahasiswa turun ke jalan, dan bahkan beberapa rekan mulai mempertanyakan perintah. Di dalam diam, aku tahu: kadang, menjaga ketertiban bukan berarti menegakkan keadilan.

 


Pentigraf : Mimbar Terlarang




 Oleh : Hariyanto

Aku berdiri di mimbar itu bukan untuk mencari musuh, tapi untuk menyampaikan amanah. Ayat-ayat tentang keadilan dan tanggung jawab manusia atas bumi bukan sekadar bacaanitu peringatan. Maka aku bicara tentang tambang, tentang tanah yang digadai demi keuntungan segelintir orang, tentang rakyat yang kehilangan hak atas air dan udara. Aku tahu risikonya. Tapi diam adalah pengkhianatan.

 

Ketika mereka datang malam itu, aku sudah siap. Tak ada perlawanan, hanya doa dalam hati agar kebenaran tetap hidup. Di ruang tahanan, aku mendengar kabar: ceramahku menyebar, anak-anak muda mulai bertanya, masyarakat mulai bersuara. Aku tersenyum. Ternyata, mimbar yang mereka larang justru membuka lebih banyak ruang untuk suara-suara lain tumbuh.

 

Kini aku berceramah di teras rumah, di sawah, di warung kopi. Tak ada pengeras suara, tapi ada telinga yang lebih terbuka. Aku tak menyesal. Karena aku percaya, selama bumi masih berputar dan langit masih bersaksi, kebenaran akan selalu menemukan jalannya meski harus melewati jalan terjal.

Bagu Loteng, 2 Juli 2025

Selasa, 01 Juli 2025

Pentigraf : Pengantar Tanpa Nama



Oleh: Hariyanto

 

Hujan sejak pagi, dan banjir melumpuhkan beberapa  jalanan. Beberapa kendaraan mogok karena tak mampu melewati genangan air.  Pak Rafi, seorang guru tua yang bersikeras datang ke rapat penting, berdiri resah di pinggir jalan. Motornya ikut mogok,. Dia berusaha minta tolong, namun beberapa pengenadara motor lewat begitu saja. Ia memejamkan mata sejenak, sambil menahan dingin bertanya dalam hati apakah semua perjuangan ini ada artinya.

 

Tiba-tiba, sebuah motor tua berhenti. Tanpa banyak bicara, pengendara muda bertubuh kurus itu menawarkan tumpangan. Wajahnya samar di balik helm dan hujan. Ia hanya berkata bahwa siap mengurus motornya dan mengantar dulu sebelum kembali. Pak Rafi naik, masih bingung mengapa orang asing itu begitu rela menolongnya, padahal sedari tadi berusaha minta pertolong pengendara lain tidak pernah berhasil. Sepanjang jalan, mereka nyaris diam. Hanya suara mesin dan guyuran hujan yang mendominasi.

 

Begitu tiba di kantor dinas, si pengendara membuka helmnya. Wajah itu muncul seperti teka-teki yang tiba-tiba terpecahkan. Damar, siswa yang dulu selalu melawan aturan, tersenyum dengan mata berkaca. “Pak, motor Bapak saya kenali dari platnya. Saya selalu ingat Bapak pernah bilang: hidup harus punya manfaat.” Di tengah derasnya hujan, Pak Rafi sadar hari itu, ia tidak hanya menumpang motor, tapi menumpang takdir baik yang tak pernah ia sangka.


Bagu Loteng, 1 Juli 2025