Oleh: Hariyanto
Sejak kecil,
aku selalu bangga saat teman-temanku tahu ayahku seorang polisi. Di foto-foto
lama, ia tampak gagah berseragam, menggendongku di depan rumah. Ibu sering
bercerita bahwa ayah adalah orang yang tegas tapi penyayang. Tapi semua berubah
saat aku berusia sepuluh tahun. Ayah menghilang. Ibu hanya bilang, “Ayahmu
sedang menjalani hukuman.” Aku tak mengerti.
Saat remaja,
aku mulai mencari tahu. Internet menyimpan lebih banyak kebenaran daripada yang
ibu pernah ceritakan. Ayah bukan polisi. Ia hanya pria yang menyamar, menipu
banyak orang termasuk ibu. Ia menikahi ibu dengan nama palsu, seragam palsu,
dan janji-janji yang tak pernah nyata. Ibu tak pernah menikah lagi. Ia terlalu
malu, terlalu hancur.
Kini aku
dewasa. Di KTP-ku, kolom “ayah” tetap terisi namanya. Tapi setiap kali kutatap
nama itu, aku tak tahu harus merasa apa. Marah? Malu? Atau kasihan? Yang
kutahu, aku lahir dari kebohongan. Tapi aku bertekad hidup dengan kejujuran.
Karena satu-satunya warisan yang kutolak adalah seragam yang tak pernah
benar-benar ia miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar