BAGAI
TELUR DI UJUNG JAGUNG
Oleh
: Hariyanto
Siapa bilang nasib kritis selalu di ujung tanduk. Zaman sudah berubah. Pandemi Covid 19
turut berperan merubah tatanan. Mempercepat sekaligus memperlambat; antara dua
sisi. Mempercepat manusia memahami perubahan dan menyesuaikannya. Mempercepat
kolapsnya suatu usaha. Terlebih lagi jika usaha kecil, yang besar pun limbung
banyak pula yang gulung tikar. Nasib semua perusahaan dan usaha bagai telur di
ujung jagung, Itulah nyanyian peternak ayam.
Bukan keuntungan yang didapat ,
tetapi kerugian setiap harian. Bukan hanya ratusan tapi ratusan juta bahkan
lebih. Ada satu hal yang membuat peternak sering berdemo : “Turunkan harga
jagung!” begitu singkatnya tuntutannya. Jika harga jagung tidak terkendali maka
nasib peternak ayam petelur di ujung jagung.
Harga jagung turun, hanya itulah
permintaan peternak kecil. Yang menyiasati pakan pabrikan semakin mahal. Namun
apalah daya. Suara kami berhenti di poster yang tergulung. Tak pernah sempat
terbentang karena polisi keburu datang. Meringkus bersama kertas pajangan
tentang keluhan mahalnya jagung. Kami peternak berteriak, menahan nyeri atas
harga tidak terperi. Kami merugi dari hari ke hari. Kelangkaan jagung membuat
telur menjadi tidak cantik lagi. Kami ingin jagung berharga sewajarnya, karena
jagung ditanam di tanah sendiri. Peternak pun terus bernyanyi bernada elegi
menyayat hati. Sementara para pejabat pun sedang merapatkan masalah jagung
bersama pemilik perusahaan pakan. Begitulah selalu.
Blitar,
11 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar