Beredar di Grup WA saya di kampung pada Hari
Pahlawan 10 November 2020 kemarin, tulisan menarik tentang sejarah Hari
Pahlawan dan kaitannya dengan Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari. Karena dalam
buku sejarah di sekolah-sekolah tidak pernah ada istilah “Revolusi Jihad” maka
tulisan ini menjadi sangat menarik. Benarkah peristiwa itu ada ? Jika ada
mengapa mesti terlewatkan ?
Dalam satu ulasan di Detik News berjudul “ Hari
Pahlawan Bukan ‘Hanya’ Bung Tomo,” memang sangat banyak yang berperan dalam
peristiwa pertempuran hebat 10 November. Tak terkecuali para Santri yang
tergabung dalam Laskar-laskar dari berbagai wilayah.
Di medan tempur, komandan-komandan yang langsung
berhadapan dengan desingan peluru dan hujan meriam dari tentara Sekutu ada
banyak sekali. Selain mereka yang memang ‘bermarkas’ di Surabaya, ada banyak
sekali prajurit TKR dan anggota laskar yang berdatangan dari daerah sekitar
Surabaya, seperti Besuki, Malang, Mojokerto, hingga mereka yang datang dari
tempat yang jauh, seperti prajurit dari Yogyakarta, bahkan luar Jawa.
Dari TKR ada dr Moestopo (puluhan tahun kemudian
dia menjadi pendiri Universitas Moestopo, Jakarta), Soengkono, Jonosewojo, dan
R Mohammad Mangoendiprodjo. Dari kesatuan Polisi Istimewa ada Muhammad Jasin
dan Sutjipto Danoekoesoemo. Dari Pemuda Republik Indonesia ada Soemarsono, dari
Laskar Hizbullah, ada Yasin Syamsudin dan Abdunnafik.
Tetapi di hari kemudian seperti ada fakta yang
hilang yaitu adanya ‘fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945”. Sejarahwan yang
juga mantan wartawan senior Jawa Pos Agus Sunyoto menuliskannya dalam buku “
Fatwa dan Resolusi Jihad”. Buku itu dibahas di Pesantren Lirboyo pada acara
bedah buku disana 3 November 2017.
Banyak orang yang tidak paham fakta adanya fatwa
resolusi jihad 22 Oktober 1945 karena tidak ditulis dalam buku sejarah di
sekolah. Ada apa sebenarnya?
Sejarah pertempuran 10 November, awalnya tidak ada
yang mau mengakui fatwa & resolusi jihad itu pernah ada. Tulisanya Prof.
Ruslan Abdul Gani, yang ikut terlibat, resolusi jihad disebut tidak pernah ada.
Bung Tomo yang pidato teriak-teriak, dalam bukunya
juga tidak pernah menyebutkan bahwa fatwa & resolusi jihad pernah ada.
Laporan tulisan mayor Jendral Sungkono juga tidak menyebut pernah ada fatwa
& resolusi jihad.
Karena itu banyak orang menganggap fatwa &
resolusi jihad itu hanya dongeng dan ceritanya orang NU saja. “Di antara elemen
bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan
dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren
hususnya NU”.
Itu kesimpulan seminar nasional di Perguruan Tinggi
Negeri besar di Jakarta tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia
pada tahun 2014. Bahkan dengan sinis salah seorang menyatakan, “Organisasi PKI,
itu saja pernah berjasa. Karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926
melawan Belanda. NU tidak pernah”. Aneh.
Pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh
LIPI. Gus Dur juga mengkonfirmasi kalau sejarah ulama dan Kyai memang sudah
lama ingin dilenyapkan. Tahun 1990 ada peringatan 45 tahun pertempuran 10
November. Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November diumumkan dari
golongan itu.
Yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi.
Nama-nama mereka muncul tersebar di televisi, koran, dan majalah. “Itu
ceritanya, 10 November yang berjasa itu harusnya Kyai Hasyim Asy'ari dan poro
Kyai. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?”. Itu komentar Nyai
Sholihah, ibu Gus Dur.
Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu
Gus Dur klarifikasi, menemui tokoh-tokoh tua & senior di kalangan kelompok
sosialis, mengenai 10 November. Sambil ketawa-ketawa mereka menjawab, “Yang
namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah sudah
mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar”.
“Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan
wong pinter. Itu biasa, Gus”, katanya kepada Gus Dur. Gus dur marah betul
dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU masih dinganggap bodoh mereka. Tahun 91, Gus
Dur melakukan kaderisasi besar-besaran anak muda NU.
Anak-anak santri dilatih mengenal analisis sosial
(ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, & geostrategi.
Semua diajari. Supaya tidak lagi dianggap bodoh. Dan kemudian berkembang hingga
kini. “Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu. karena itu agak faham”,
kata KH. Agus Sunyoto.
Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan
resolusi jihad tidak ada, KH. Agus Sunyoto menemukan tulisan sejarawan Amerika,
Frederik Anderson. Dalam tulisanya tentang penjajahan jepang di Indonesia thn 42
sampai 45, ia menulis begini:
22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yg
dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Tanggal 27
Oktober, Koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap resolusi jihad. Koran
Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad.
Peristiwa ini ada, sekalipun wong Indonesia tidak
mau menulisnya, karena menganggap NU yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan
lapisan bawah. Sejarah dikebiri. Dokumen-dokumen lama yang sebagian besar
berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya, dibongkar.
Patahlah semua anutan doktor sejarah yang menyatakan
NU tidak punya peran apa-apa terhadap kemerdekaan.
Ketika Indonesia pertama kali merdeka 45, kita gak
punya tentara. Baru dua bulan kemudian
ada tentara. Agustus, September, lalu pada 5 Oktober dibentuk tentara keamanan
rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR di Jawa saja.
Ternyata, TKR di Jawa ada 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri atas
3 resimen dan 15 batalyon.
Artinya TKR jumlahnya ada 100.000 pasukan. Itu TKR
pertama. Yang nanti menjadi TNI. Dan komandan divisi pertama TKR itu bernama
Kolonel KH. Sam’un, pengasuh pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga masih
Kyai, yakni kolonel KH. Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya). Sampai tingkat
resimen Kyai juga yang memimpin.
Fakta, resimen 17 dipimpin oleh Letnan Kolonel KH.
Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus Anis. Di batalyon
pun banyak komandan Kyai. Komandan batalyon TKR Malang misalnya, dipimpin Mayor
KH. Iskandar
Sulaiman yang saat itu menjabat Rais Suriyah NU
Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip nasional, ada Sekretariat Negara dan TNI.
Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak
SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran Kyai. KH. Hasyim Asy'ari yang ditetapkan
pahlawan oleh Bung Karno pun tidak ditulis. Jadi jasa para Kyai dan santri
memang dulu disingkirkan betul dari sejarah berdirinya Republik Indonesia ini.
Waktu itu, Indonesia baru berdiri. Tidak ada duit
untuk bayar tentara. Hanya paro Kyai dengan santri-santri yang menjadi tentara
dan mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Hanya paro Kyai, dengan
tentara-tentara Hizbulloh yang mau korban nyawa tanpa dibayar. Sampai sekarang
pun, NU masih punya tentara swasta namanya Banser, ya gak dibayar. Wkwkwk
Tentara itu baru menerima bayaran pada tahun 1950.
Selama 45 sampai perjuangan di tahun 50-an itu, tidak ada tentara yang dibayar
negara. Kalau mau mikir, 10 November Surabaya adalah peristiwa paling aneh
dalam sejarah. Kenapa? Kok bisa ada pertempuran besar yg terjadi setelah perang
dunia selesai 15 Agustus.
Sebelum pertempuran 10 November, ternyata ada perang
4 hari di Surabaya. Tanggal 26, 27, 28, 29 oktober 1945. Kok ‘ujug-ujug’ muncul
perang 4 hari di ceritanya gimana? Jawabnya: Karena sebelum tanggal 26 Oktober,
Surabaya bergolak,
setelah ada fatwa resolusi jihad PBNU pada tanggal
22 Oktober. Kini diperingati sbg Hari Santri.
Tentara Inggris sendiri aslinya tidak pernah
berfikir akan perang dan bertempur dg penduduk Surabaya. Perang selesai kok.
Begitu pikirnya. Tapi karena masarakat Surabaya terpengaruh fatwa dan resolusi
jihad, mereka siap nyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di Surabaya.
Sejarah inilah yang selama ini ditutupi.
Jika resolusi jihad ditutupi, orang yang membaca
sekilas peristiwa 10 November akan menyebut tentara Inggris ‘ora waras’.
Ngapain Ngebomi kota Surabaya tanpa sebab? Tapi kalau melihat rangkaian ini
dari resolusi jihad, baru masuk akal. “Oya, marah mereka karena jenderal dan
pasukannya dibunuh arek-arek Bonek Suroboyo”.
(bersambung )
Blitar, 12 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar