Jumat, 27 November 2020

Filosofi Memberi Pancing atau Memberi Ikannya ?

 

gambar : kabar gembira.id

Di masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti ini seorang guru atau orangtua yang saat ini juga menjadi guru di rumah masing-masing sering mengajari putra-putrinya bahkan ikut menyelesaikan PR dan tugasnya. Ada orangtua yang terlalu “sayang” dengan mengambil alih seluruh tugas, hingga menuliskannya jawabnya. Ada juga yang dengan telaten orangtua memberikan bimbingan sekedar, sambil memantaunya dari jauh. Kedua pilihan mempunyai imbas yang baik menurut versi masing-masing.

Bagi orangtua tipe proteksionisme, sangat melindungi putranya dengan cara mengajari penuh sampai jawabannya lengkap. Harapannya agar putranya mendapatkan nilai sempurna, tidak jelek amat. Bagi tipe lainnya orangtua akan memberikan kesempatan kepada putranya untuk menggali potensinya lebih jauh dengan cara mengerjakan sendiri dan baru dibimbing jika anak menemui jalan buntu. Itupun dengan sekedarnya, harapannya si anak akan tergugah dan selalu belajar lebih jauh. Mungkin tipe ketiga adalah membiarkan bebas putra-putrinya di rumah. Belajar sendiri tanpa diawasi walaupun pegang HP Android. Orangtua sibuk bekerja atau punya kegiatan lainnya.

Kembali kepada masalah memberi kepada orang lain, diibaratkan memberi pancing atau ikannya ? Ini sesuai dengan prinsip awalnya konon berasal  dari Lao Tzu yang populer: “Give a man a fish, feed him for a day. Teach a man to fish, feed him for a lifetime”, yang artinya kurang lebih berikan seseorang ikan maka itu akan cukup mengisi perutnya untuk satu hari dan ajarkan ia untuk memancing maka akan dapat memberinya makan seumur hidup.

Untuk pilihan begini, jika menemui zaman seperti saat ini jawabnya akan sangat kondisional. Artinya harus sesuai konteks, bahkan sesuai dengan kecerdasan. Atau sesuai kebutuhan yang ada. Amat sangat relatif.

Begini perumpamaan sebuah anekdot dari blog yang saya sadur dan menurut penulisnya dari grup WA dikutip seutuhnya. ( catatan : kalau saya saya sesuaikan dengan tidak merubah isi dan maksudnya).

Seorang pegawai Kedubes Indonesia di Beijing moodnya kurang baik, lalu dia coba pergi meditasi ke gunung Songshan di Henan, tempat sebuah Kuil Shaolin berada di kaki gunung tersebut.

Ada seorang biksu senior  bertanya sama dia,

 "Kalau anda disuruh pilih, mau pilih alat mancing atau milih ikan 500 kg?"

Dia jawab, "saya pilih ikan 500kg."

Si biksu geleng-geleng kepala sambil ketawa,  katanya,

"Anda jauh dari kebijaksanaan,  apakah anda tidak tahu bahwa 500 kg ikan bisa habis dimakan sedangkan alat mancing bisa memancing ikan terus menerus selamanya."

Dia menjawab,

"Anda yang terlalu naif. 500 kg ikan kalau dijual seharga Rp 50 ribu/kilo ... berarti hampir Rp 25 juta,  sedangkan alat mancing harganya hanya sekitar Rp 500 ribu, beli 10 set hanya sekitar Rp 5 juta. Saya bisa bayar Rp 5 juta untuk menggaji 10 orang untuk memancing ikan bagi saya. Dan bisa ambil Rp 5juta untuk bersedekah. Sisa uang bisa dibuat hal lain-lain misalnya mengajak teman-teman untuk  berburu. Bahkan sambil main catur bisa menjaga orang-orang yang memancing ikan. Ikan hasil mancing bisa saya jual lagi. Nah,  hobi mancing saya tersalurkan,  bisa bersedekah, bisa bersosialisasi, bisa membuka lapangan pekerjaan, dapat untung pula."

Biksu, "Kamu orang mana ?"

Dia jawab, "Orang Padang."

Biksu, "Onde mande... "

Kesimpulan : Memberikan sesuatu dalam konteks untuk kebaikan, lakukan saja dengan setulus hati. Apalagi memberikan “pembelajaran” kepada putra-putrinya. Jika memberikan pembelajaran itu membuat anak manja tentu tidak harus diteruskan, jika membuat mandiri maka lakukan. Karena jika pilihan membiarkan misalnya sang putra belajar dengan HP internet dengan penuh kebebasan, ibarat melepaskan sang anak berjalan jauh dengan membiarkan berjalan sendiri. Tegakah kita sebagai orangtua.

Memberikan dalam konteks materi kepada orang lain, juga amat bergantung pada keadaan, seberapa jauh sangat membutuhkan. Sesuai prioritas. Tulus dan mendidik, itu idealnya. Semoga bermanfaat .. aamiin.

 

Blitar 27 November 2020

 

 

 

1 komentar:

  1. Wah, kisah di atas menerangkan sebuah ketulusan dalam memberi.
    Siap laksanakan, Pak
    Terima kasih atas ulasannya. Salam :-)

    BalasHapus