Oleh :
Hariyanto
Sebagai salah satu inovasi
pendidikan kumer menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa
inovasi itu berjalana dengan baik sesuai arahnya. Seperti biasa sebelum
diluncurkan pasti ada kajian yang membahasnya. Berbagai langkah ke depan pasti
sudah disiapkan. Namun sebuah kurikulum akan kembali kepada tanggapan pelaksana
di lapangan, dalam hal ini guru dan
Kepala Sekolah.
Survey kesiapan sekolah sebelum
melaksanakan kumer sudah diisi. Segenap persiapan untuk pengadaaan buku
pendamping juga dijalankan. Hanya harus diakui pelatihan bagi guru untuk
menjalankan kumer ini masih sedikit sekali. Pelatihan selama ini hanya untuk
mereka yang lolos sebagai guru penggerak. Selain itu adalah pelatihan imbas
dari mereka. Ada juga pelatihan melalui media daring melalui pelatihan mandiri
guru berbagi. Untuk pelatihan mandiri ini juga sangat bergantung pada
kemandirian dan kemauan kuat guru, disamping ketersediaan jaringan dan jejaring
sosial sesama guru. Bagaimana
tanggapan Guru dan Kepala Sekolah dalam menerima kumer di tengah situasi
sedikitnya sosialisasi ini ?
Ada sebuah kajian kumer sebelum diluncurkan, yaitu seperti
Kerangka Spillane dan rekan-rekan dan kerangka teori sistem ekologi (OECD, 2020)
yang membagi faktor pengaruh implementasi kurikulum menjadi beberapa lapisan .
Kerangka tentang proses pemaknaan kebijakan oleh guru tersebut
setidaknya menunjukkan dua hal besar. Pertama,
guru adalah pihak yang memiliki kuasa atau kendali (agency). Dengan kendalinya
tersebut, secara aktif mereka dapat memaknai dan mengambil keputusan bagaimana kebijakan
yang sampai di tangan mereka akan direspon. Mereka memiliki kuasa untuk menentukan
apakah kebijakan tadi akan dilaksanakan sesuai dengan arahan pemerintah sepenuhnya,
akan dimodifikasi sesuai dengan situasi dan konteks yang mereka hadapi, atau akan
didiamkan saja seolah-olah berubah padahal masih melakukan praktik yang sama. M
(Kneen et al., 2021; Spillane, 2004; Wilcox et al., 2017).
Kedua,
meskipun proses pemaknaan kebijakan dilakukan oleh guru di tingkat satuan pendidikan,
proses ini tidak hanya mengandalkan sumber daya yang ada di satuan pendidikan
(mesosistem), tetapi juga dukungan pemerintah dan organisasi lainnya
(eksosistem) yang dapat membantu guru memahami kebijakan kurikulum yang baru
tersebut. Pada sisi sebaliknya, tantangan dan hambatan implementasi kurikulum
juga demikian, dapat terjadi akibat pengaruh eksosistem dan makrosistem.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pandangan negatif masyarakat
terhadap perubahan kurikulum, misalnya, dapat mempengaruhi proses sensemaking ketika
guru dan kepala sekolah terpengaruh oleh pandangan tersebut atau khawatir akan
kehilangan legitimasi publik apabila mereka tetap melaksanakan arahan pemerintah
untuk mengimplementasi kurikulum (Ball et al., 2012).
Ketika memaknai suatu kebijakan, pendidik tidak
semata-mata menggunakan kognisinya atau pemahaman pribadinya tentang isi
kebijakan tersebut. Mereka juga mempertimbangkan lingkungan di sekitarnya serta
situasi yang kompleks dan dinamis yang harus mereka hadapi setiap hari (Lipsky,
1981; Wilcox et al., 2017).Guru dengan kuasa (agency) yang dimilikinya menjadikan
mereka sebagai birokrat akar rumput (street-level bureaucrats) (Lipsky, 1980).Sebagai
birokrat akar rumput, guru lah yang pada akhirnya dapat menilai apakah Capaian Pembelajaran
telah digunakan dan secar aefektif dapat mengembangkan kompetens isiswa,
menentukan apakah projek penguatanprofil pelajar Pancasila perlu diimplementasikan
sebagaimana yang dianjurkan, dan seterusnya.Keputusan-keputusan yang mereka
buatpada akhirnya menjadi kebijakan yang diimplementasikan secara nyata, atau
yang disebut Stephen Ball (2005) sebagai kebijakanyang sebenarnya.
Perubahan yang terlalu banyak dan harus dilakukan dalam
waktu yang terlalu cepat menyebabkan guru frustasi dalam mengimplementasikan
suatu kebijakan baru.Rasa putus asa dan kelelahan yang dirasakan oleh birokrat
akar rumput ini membawa dampak negatif yang lebih signifikan. Dalam keadaan
terpaksa untuk melakukan perubahan dan kesulitan untuk mengimplementasikan kurikulum,
satuan pendidikan dan guru dengan agency yang mereka miliki akan cenderung mencari
jalan yang paling mudah untuk menerapkan kurikulum. Cara yang mudah ini
biasanya adalah pendekatan yang nyaris serupa dengan praktik-praktik yang sudah
pernah dilakukan atau status quo (Tyack &Cuban, 1997; Wilcox et al., 2017),
sehingga pada akhirnya kebijakan baru tidak menghasilkan perubahan apapun di
ruang kelas.
Semula satuan pendidikan dan guru diharapkan untuk
mengimplementasikan kebijakan dengan mematuhi sepenuhnya arahan yang teknis dan
konkret, namun pendekatan itu semakin ditinggalkan oleh banyak negara.
Berdasarkanberbagai penelitian yang menunjukkan bahwa pendekatan top-down
seperti tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka pendekatan yang digunakan
adalah memberikan keleluasaankepada satuan pendidikan dan pendidik untuk mengadaptasi
kebijakan dari pemerintah pusatsesuai dengan konteks masing-masing dan tetap
selaras (kongruen atau sebangun) dengan tujuan dan prinsip-prinsip yang
ditetapkan (Bryket al., 2015; OECD, 2019).
Dengan kata lain, arah kebijakan implementasi kurikulum
yang berkembang saat ini adalah pendekatan yang memberikan kewenangan atau kendali
(agency)kepada kepala sekolah dan guru di satuan pendidikan. Langkah ini pula
yang menjadi pilihan strategi untuk implementasi Kurikulum Merdeka, yaitu
memberikan pilihan kepada satuan pendidikan.Implikasi dari pemahaman tentang
teacheragency dan proses sensemaking kebijakan perlu direspon oleh pembuat
kebijakan.
Diakui atau tidak saat ini di lapangan memang
terjadi sedikitnya 2 tanggapan Guru dan Kepala Sekolah, Pertama menerima kebijakan melaksanakan kumer dengan penuh
kesadaran dan menganggap dirinya agen perubahan yang bisa selalu membuat
inovasi menyesuaikan kurikulum dengan kondisi lapangan. Mereka merasa kumer
adalah amanat penuh untuk dilakukan dengan penuh inovasi. Kedua, Menganggap kumer sebagai kebijakan baru yang
memberatkan, seperti inovasi baru lainnya dan cenderung dianggap sepele saja.
Mungkin karena ketidak pahaman atau malas mencari informasi sehingga hal baru
pun selalu dianggap tidak lebih baik dari sebelumnya walau pun tidak sejalan
dengan perkembangan zamannya. Kelompok ini cenderung dimiliki oleh guru yang
tidak mau berubah, suka dengan hal yang sudah ada. Dampak negatifnya adalah
melaksanakan pembelajaran di kelas hanya semata-mata menjalankan tugas dan
menyelesaikan materi saja.
Kalau
disuruh memilih, maka jelas bagi kita pilihan pertamalah yang bisa menjamin
keberlangsungan sebuah pembaharuan seperti kumer ini. Sikap sadar diri bahwa
kumer dan kurkulum sebelumnya pun, memang seharusnya menjadi kewenangan penuh
untuk guru. Kewenangan penuh yang diberikan kepada guru dan Kepala Sekolah
itulah yang saat ini sedang “disodorkan” oleh kumer. Permasalahannya, sudah sadarkah
kita saat ini ditunjukkan menjadi agen perubahan bersama kumer, demi kemajuan
pembelajaran siswa ?
Semoga.
Blitar, 21
Juli 2022
Hariyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar