Oleh : Hariyanto
Setiap ada pembaharuan , pasti meninggalkan sesuatu yang lama. Entah itu
berupa sebuah dokumen, metode, maupun proses yang dijalankan. Kurikulum Merdeka, yang dianggap baru dan
akan dilaksanakan mulai tahun ajaran baru 2022/2023 pasti sudah menemukan
berbagai “kelemahan” pada kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum 2013. Apa yang
disebut kelemahan itu akan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik atau
langkah penyempurnaan.
Perubahan sering ditanggapi dengan
sudut pandang berbeda. Apalagi jika hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak
dalam hal ini guru, siswa dan para orangtua siswa. Pameo Ganti Menteri Ganti
Kurikulum seolah memberikan beban tambahan baru dalam kehidupan ini. Hal yang
sungguh berbeda dari azas dan tujuan semula yaitu pembaharuan untuk mempermudah
dan mengurangi beban hidup,
Benarkah Kurikulum 2013 selanjutnya saya singkat K 13 mempunyai kelemahan
serius dalam dunia pendidikan sehingga ditinggalkan dan diganti dengan
Kurikulum Merdeka ? Hal baru apa saja yang ada dalam Kurikulum merdeka (Kumer) ? Seberapa jauh para guru siap
menjalankan Kumer ?
Tulisan ini
mencoba mengritisi hasil kajian terhadap
K-13 yang ditulis oleh Badan Standar , Kurikulum dan Assesmen Pendidikan dalam
buku berjudul “Kurlkulum untuk Pemulihan Pembelajaran.” Dari hasil kajian
terhadap K-13 ditemukan antara lain
1. Dibutuhkan Kurikulum yang Sederhana
Dari hasil evaluasi yang dilaksanakan Kementerian dan Kebudayaan di beberapa daerah di tanah air, ditemukan bahwa beban pelajaran yang harus siswa tanggung terlalu banyak (Puskurbuk, 2019). Lebih lanjut, hasil paparan evaluasi pengimplementasian Kurikulum 2013 menemukan bahwa adanya kekeliruan pemahaman guru tentang konsep mastery learning. Kebanyakan guru masih beranggapan bahwa mastery learning adalah menuntaskan seluruh materi pembelajaran, sehingga malah mengesampingkan pemahaman siswa; sementara yang diharapkan Kurikulum 2013 adalah ketuntasan pemahaman siswa (Balitbang Kemdikbud, 2019).
Kejadian di lapangan memang banyak ditemui hal demikian. Guru
selalu merasakan beban ketika siswanya belum menyelesaikan buku-buku tema
sesuai dengan urutannya. Akibatnya, jika jadwal tidak sesuai maka waktu sudah
sampai pada jadwal penilaian sumatif. Akibatnya bisa ditebak guru sering harus
memberikan materi secara maraton dalam waktu relatif cepat.
Akibatnya, peserta
didik dan orang tua mengeluhkan beban
pelajaran yang begitu berat. Terutama di
saat ujian, siswa SD harus memahami pelajaran IPS, IPA, Matematika untuk satu ujian saja (Maharani, 2014). Demikian pula pada peserta didik PAUD yang meskipun pada K-13 tidak menjadikan kemampuan baca tulis sebagai syarat kelulusan, ternyata ketika masuk pada jenjang SD, siswa secara alamiah harus dapat membaca karena isi dari materi SD sudah cukup tinggi.
Bukan hanya itu, beban pelajaran bagi siswa dapat dilihat secara kasat mata, sebagai
contoh banyaknya buku pelajaran yang
harus dibawa oleh siswa (terutama siswa
SD) setiap harinya (Telaumbanua, 2014).
Sekali lagi, hal itu fakta. Siswa SD sering kita dapati
membawa semua buku paket tema yang sudah diajarkan sekalipun. Berjilid-jilid
dibawanya ke sekolah. Sampai pada akhirnya terjadilah Pandemi Covid 19 selama
sekitar 2 tahun yang membawa dampak pembelajaran luar biasa. Penggunaan media
HP untuk pembelajaran on line menjadi salah salah satu alternatif. Sekolah yang libur dan digantikan belajar
dari rumah membuat kurikulum berubah “ darurat.”
Sorotan terhadap fakta itu menunjukkan bahwa K-13 masih
memuat standar yang tinggi pada capaian
materi terhadap siswa, yang dampaknya kurang cukup memberi kesempatan siswa untuk benar-benar
memahami materi yang diberikan. Kurikulum di banyak negara, menurut kajian Pritchett
dan Beatty (2015), dirancang terlalu ambisius,
berorientasi pada standar yang tinggi, namun
tidak cukup memberikan kesempatan kepada
siswa untuk benar-benar memahami materi
yang diajarkan.
2.
Dibutuhkan
Kurikulum yang Mudah diimplementasikan
Kajian Puskurbuk (2019) menemukan pada umumnya, guru di Indonesia masih terkonsentrasi pada penyiapan dokumen yang bersifat administratif. Bahkan, pada
penelitian kualitatif pada satu sekolah
di Magelang, Khurotulaeni (2019)
menemukan bahwa kebanyakan guru tidak
termotivasi untuk membuat RPP, karena
bagi mereka aksi di kelas lebih penting
daripada pembuatan naskah berlembar-lembar
yang rumit dan komplek. Horn dan
Banerjee (2009) mengkritisi praktek guru
di negara berkembang yang terkesan mengejar pemenuhan kebutuhan administrasi pengajaran dan mengesampingkan pengajaran siswa yang sebenarnya membutuhkan persiapan yang lebih tinggi. RPP menurut Astuti, Haryanto, dan Prihatni (2018) adalah rencana kegiatan pembelajaran untuk satu pertemuan atau lebih yang dikembangkan dari silabus sebagai panduan untuk mencapai kompetensi dasar (KD). Lebih lanjut, Astuti, Haryanto, dan Prihatni (2018) menekankan bahwa guru harus membuat RPP secara menarik, inspiratif, dan menyenangkan sehingga menimbulkan tantangan dan kreativitas siswa. Namun sayangnya, guru belum berhasil membuat RPP yang menarik dan inspiratif seperti yang diharapkan karena bagian-bagian RPP yang terlalu kompleks, sehingga menguras tenaga guru untuk hanya terfokus pada urusan administrasi RPP (Ahmad, 2014, Krissandi & Rusmawan, 2015). Untuk mengejar ketertinggalan akibat pandemi, guru dan satuan pendidikan tidak boleh dibebani dengan administrasi yang memberatkan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya agar guru dan satuan pendidikan dapat lebih leluasa dalam mengajar secara efektif
dan inovatif.
3.
Dibutuhkan
Kurikulum 2013 yang Decentralized dan
Fleksibel
Kurikulum diharapkan
dapat memberikan kebebasan bagi sekolah
untuk dapat menyesuaikan tujuan
pembelajaran terhadap kebutuhan di
sekitar tempat siswa belajar (Okoth,
2016 dalam Poedjiastuti, et al., 2018).
Namun, K-13 tidak memberikan keleluasaan
sekolah untuk mengadaptasi pola
keberagaman tujuan dan hasil akhir dari pembelajaran.
Hal ini dikarenakan pemerintah telah
memberikan paket komplit silabus yang telah
selesai untuk guru adopsi di sekolah.
Menurut Ornstein dan Hunkins di Poedjiastuti (2018) salah satu alasan mengapa guru merasa keberatan dalam menerapkan perubahan pendekatan, metodologi, dan cara evaluasi siswa salah satunya dikarenakan guru tidak merasa memiliki kurikulum tersebut. Kurikulum 2013 tidak memberikan fleksibilitas kepada guru untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi. Hal ini dikarenakan kurikulum mewajibkan guru untuk menyusun administrasi kelengkapan mengajar yang sangat kompleks.
Demikian pula pada kasus guru SMK, adanya silabus yang terpusat mengurangi kreatifitas guru untuk memilih pendekatan pembelajaran yang lebih kreatif, bermakna, dan kontekstual (Djaelani, Pratikno, & Setiawan, 2019). Bukan hanya itu, implementasi K-13 yang memberikan paket komplit dengan silabus dalam perjalanannya mendapatkan kritik dari banyak pihak (Sakhiya, 2013 dalam Ahmad, 2014). Hal ini dikarenakan tidak semua
sekolah dapat menerapkan silabus yang
sama antara satu dengan yang lain.
Mungkin pada satu sekolah, dapat
menerapkan silabus yang dibuat oleh
pemerintah, namun belum tentu bagi sekolah
lain. Karena konteks sekolah di desa tidak
sama dengan konteks sekolah di kota.
Demikian pula konteks sekolah swasta tidak akan sama dengan sekolah negeri. Ahmad (2014) mengibaratkan pembuatan silabus oleh pemerintah seperti membuat satu pakaian dengan
satu ukuran yang sama (one size fits all),
tentu tidak akan bisa dipakai oleh semua
orang. Oleh karenanya, penyederhanaan
kurikulum diharapkan memberikan fleksibilitas kepada sekolah untuk dapat mengembangkan silabus dari kerangka kurikulum yang telah ditetapkan.
Kurikulum hendaknya juga dapat mengakomodasi kompetensi lulusan pada pendidikan khusus untuk setiap jenjangnya. Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak dapat disamakan dengan peserta didik pada umumnya. Mengingat kekhasan peserta didik yang berkebutuhan khusus, maka kurikukulum harus dapat secara fleksibel menyesuaikan dengan tingkat ketercapaian peserta didik. Dalam artian
tingkat ketercapaian pada peserta didik
umum tidak dapat disamakan dengan
tingkat ketercapaian peserta didik
berkebutuhan khusus. Salah satu contoh
misalnya pada standar kelulusan perlu penambahan
frasa disesuaikan dengan tingkat ketercapaian
pada masing-masing peserta didik.
Salah satu kata kunci pada kurikulum alternatif nantinya adalah fleksibilitas. Ki Hadjar Dewantara (1928) menekankan bahwa manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Lebih lanjut, KHD berpendapat bahwa maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai bagian dari persatuan rakyat (Ki Hadjar Dewantara, 1928).
Dalam pidatonya pada
kongres PPPKI ke-1 di Surabaya pada
tanggal 31 Agustus 1928 KHD menegaskan
bahwa pengaruh pengajaran itu umumnya
memerdekakan manusia atas hidupnya
secara lahir, dan memerdekakan hidupnya
secara batin. Tentu dengan memberikan
kurikulum yang dapat disesuaikan dengan
kekhasan tingkat satuan pendidikan dan
peserta didik, akan memberikan
kemerdekaan bagi tiap-tiap satuan
pendidikan dengan segala keragamannya. Jika diibaratkan dengan filosofi petani dan pendidik versi Ki Hajar Dewantara (KHD), tugas seorang guru adalah ibarat menanam jagung. Jagung hanya akan dapat tumbuh dengan selalu memperbaiki tingkat kesuburan tanah, memelihara tanaman, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur yang mengganggu hidup tanaman dan lain sebagainya (KI Hadjar Dewantara, 2009).
Berkaca pada hasil implementasi kurikulum pada masa Pandemi COVID-19, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kelemahan yang menjadi fokus evaluasi pada Kurikulum 2013, antara lain kompetensi yang ditetapkan dalam Kurikulum 2013 terlalu luas, sehingga sulit dipahami dan diimplementasikan oleh guru. Selain itu, kurikulum yang dirumuskan secara nasional sulit disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan satuan pendidikan, daerah, dan peserta didik, karena materi wajib yang sudah sangat padat dan struktur yang detail dan mengunci. Sehingga tidak memberikan keleluasaan kepada guru dan satuan pendidikan untuk menyesuaikan dengan kekhasan daerahnya.
Di samping itu,
berdasarkan hasil evaluasi yang telah
dilaksanakan terhadap Kurikulum 2013, terdapat
beberapa hambatan lain yang belum terakomodasi
oleh implementasi kurikulum darurat,
antara lain: (1) Pengaturan jam belajar menggunakan
satuan minggu (per minggu) tidak
memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan
untuk mengatur pelaksanaan mata pelajaran
dan menyusun kalender pendidikan; (2)
Pendekatan tematik (jenjang PAUD dan SD)
dan mata pelajaran (jenjang SMP, SMA, SMK, Diktara, dan Diksus) merupakan satu-satunya pendekatan dalam Kurikulum 2013 tanpa ada pilihan pendekatan lain; (3) Mata pelajaran informatika bersifat pilihan, padahal
kompetensi teknologi merupakan salah satu
kompetensi penting yang perlu dimiliki
oleh peserta didik pada abad 21; dan (4)
Struktur kurikulum pada jenjang SMA
kurang memberikan keleluasaan bagi siswa
untuk memilih selain peminatan IPA, IPS,
atau Bahasa. Gengsi peminatan juga dipersepsi
hierarkis dan tidak adil bagi yang berminat
IPS dan Bahasa.
Sebuah catatan atas beberapa temuan di atas terhadap K-13.:
1)
Dibutuhkan Kurikulum yang sederhana. Ditemukan bahwa
capaian pada K-13 terlalu tinggi, materi terlalu luas. Siswa tidak diberi kesempatan
untuk lebih memahami pengertian dari sebuah materi tertentu. Catatan seperti
ini sebenarnya juga melandasi munculnya K-13 atas Kurikulum sebelumnya KBK .
Sebetulnya jiwanya sama, mementingkan pada aspek capaian kompetensi tertentu.
Namun seiring waktu baik dari pihak guru maupun orang tua sendiri selalu “mengejar”
target materi pembelajaran. Hal ini yang membuat K-13 menjadi tidak efektif.
Beban materi pembelajaran dianggap terlalu berat.
2)
Dibutuhkan Kurikulum yang mudah diimplementasikan.
Guru tidak perlu lagi diberi beban administrasi yang berat seperti pembuatan
RPP yang berjilid-jilid, sehingga melupakan penyajian pembelajaran yang menarik
minat siswa. Sebenarnya sudah diberi jalan keluar dengan adanya kebijakan
merdeka belajar dengan RPP 1 lembar. Namun rupanya hal ini belum juga menyelesaikan “beban” materi yang
ada. Tetap saja materi dianggap terlalu banyak dan beban guru belum
terselesaikan.
3)
Dibutuhkan Kurikulum yang desentralized dan fleksibel.
Pada K-13 sebenarnya sudah didukung dengan adanya kebijakan raport model baru
yang meniadakan nilai semata dan ranking di kelas. Pemilihan tema juga bisa
disesuaikan dengan di daerah. Namun pemberian buku paket tematik dan pelajaran tetap
dianggap langkah yang “melemahkan” kreatifitas Guru dan Sekolah di daerah,
karena merasakan tidak membuat sendiri.
Hal-hal
“temuan” terhadap kelemahan K- 13 seperti di atas rupanya membuat perlunya
dibuat kebijakan untuk membuat Kurikulum alternatif, yang saat ini disebut
Kurikulum Merdeka ( KUMER) .
Harapannya kumer menjadi benar-benar fleksibel, bersifat memerdekaan, baik kepada
guru, siswa maupun orang tua, serta pemerintahan setempat dalam
melaksanakannya.
Apakah hadirnya Kumer benar-benar akan menjadi penyelamat
dunia pendidikan saat ini ? Semoga ya. Aamiin
Blitar, 9 Juli 2022
Hariyanto
Mantab smg KUMER berjalan sesuai dg harapan.
BalasHapusTerimakasih Cak Inin sudah mampir disini
Hapus