Saat-saat seperti ini, ingin rasanya menanamkan kebiasaan membaca itu
kepada setiap siswa di sekolahku. Sayangnya kerja menumbuhkan kebiasaan baik
itu, seperti membaca misalnya tidak bisa dilakukan secepatnya, kecuali dengan
proses. Harus dilalui dengan sejumlah tahapan sedikitnya melatih sabar, melatih
menggunakan waktu, melatih agar tidak bosan, melatih memilih bacaan, melatih
mengerti isi bacaan, melatih manfaat membaca untuk kehidupan bahkan untuk
belajarnya. SUngguh semua itu hanya bisa dilalui melalui sejumlah waktu, bisa
memakan minggu, bulan bahkan tahun.
Gemas rasanya tangan ini seperti ingin cepat melihat hasilnya. Betapa
melalui kecepatan membaca membuat siswa cepat menangkap makna. Cepat tahu arti,
cepat mengerti, cepat memahami, dan akhirnya bisa mengartikan, menuliskan
kembali, atau bahkan membelajarkan kepada sesama. Beberapa hal langsung bisa
diterapkan untuk ketrampilan hidupnya.
Beberapa survey Nasional maupun internasional sudah terlalu sering kita
dengar hasilnya, bahwa anak-anak kita masih rendah minat membacanya. Belum
kebiasaannya, tetapi minatnya. Padahal sudah banyak ditemukan hubungan erat ,
antara pembentukan karakter dibalik kemampuan membacanya. Karakter untuk hidup
di zamannya. Karakter untuk bisa bekerjsa sama dengan profesional, karakter
untuk mencipta, bahkan untuk bekerja keras.
Upaya apa lagi yang akan kita berikan pada siswa kita seandainya kita guru
?
Sungguh amat disayangkan jika seorang guru tidak mengetahui "problem
literasi" siswa saat ini. Sehingga kerap terjadi di sekolah beberapa guru
"abai" terhadap program literasi. Mungkin literasi hanya dicantumkan
dalam Permendikbud no. 23 Tahun 2015, sehingga tertumpuk berbagai macam agenda.
Seperti istilahnya, pendidikan karakter yang tertumpuk di balik sejumlah mata
pelajaran. Istilah kerennya "kurikulum ngumpet" atau hidden
curriculum; memang tidaktertulis tetapi amat penting untuk dilaksanakan.
Apalagi dalam penilaian karakter sering dipinggirkan hanya kepada guru
Pendidikan Agama dan PPKn.
Literasi sekolah menjadi program yang terpinggirkan alias nomer dua. Masih
beruntung jika ada lomba literasi sekolah, maka tiba-tiba prgram itu ada. Atau
masih beruntung jika Kepala Sekolah mendukug program tersebut. Jika ada guru
satu saja dan di dukung Kepala Sekolah maka program literasi bisa saja
berjalan, dan ini banyak contoh dilapangan. Namun jika Kepala Sekolah tidak
mendukungnya maka program ini biasanya selesai alias wassalam.
Program literasi membaca dan numerasi kini mencuat kembali setelah menjadi
fokus dalam AKM (Assesment Kompetensi Minimal). Kedua hal ini ternyata
dijadikan tolok ukur penguasaan siswa pada kempetensi minimum disekolahnya.
Memang bukan bertujuan untuk menentukan lulus tidaknya siswa, tetapi capaian
AKM menggambarkan sejumlah kompetensi yang benar-benar dikuasai siswa untuk
bekal kehidupannya.
Literasi membaca didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami,
menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks tertulis untuk
mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia dan
untuk dapat berkontribusi secara produktif kepada masyarakat. Numerasi adalah
kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika
untuk menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang
relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia.
Dasar dari gerakan literasi sekolah dan pencapaian AKM adalah sama yaitu
memberikan bekal kemampuan siswa untuk membaca dan mengolah informasi secara
benar. Disini literasi menemukan moment yang sangat penting untuk tetap dilaksanakan
secara maksimal. Tidak boleh ragu, siswa harus segera mendapatkan "daya
baca". Itu semua diawali dengan penumbuhan minat baca. Sudahkah bapak ibu
guru menyediakan dan menfasilitasi buku bacaan cerita bagi mereka ?
Blitar, 4 April 2021
by. Hariyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar