Jumat, 26 Februari 2021

GLN GLS dalam Fokus Literasi Baca Menulis

 




Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan GLN (Gerakan Literasi Nasional) pada tahun 2016 sebagai induk gerakan literasi secara nasional untuk menyinergikan berbagai program dan kegiatan lintas sektor.

GLN merupakan bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pada tahun 2017 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) ditunjuk sebagai koordinator GLN.

Banyak pembaca yang tidak asing lagi dengan istilah Gerakan Literasi Nasional (GLN). Meskipun demikian, tidak sedikit yang masih bertanya-tanya: apa sebenarnya GLN itu? Maklum, istilah ini memang relatif baru.

Pertanyaannya mengapa baru tahun 2016 program GLN diluncurkan. Bagaimana sejarah gerakan literasi kita zaman dulu ? Apa yang menjadi latar belakang semua ini ?

Dalam buku Panduan GLN mengutip beberapa data terkait. Data IPM yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB/United Nations Development Program (UNDP) misalnya menunjukkan bahwa IPM Indonesia pada tahun 2013 hanya berada di peringkat 108 dari 187 negara; jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Survei lain tentang literasi yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016 juga menempatkan Indonesia dalam posisi cukup memprihatinkan, yaitu urutan ke-60 dari 61 negara.

Melengkapi beberapa survei di atas, Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI)/Indonesia National Assessment Programme (INAP) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains bagi anak sekolah dasar juga menghasilkan kesimpulan yang menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia sangat lemah. Secara nasional, yang berada pada kategori kurang perbidang adalah: matematika (77,13%; membaca (46,83%); dan sains (73,61%).

Ini hasil-hasil survey yang menyimpulkan bahwa negara kita masih harus kerja keras membenahi literasi.

Bagaimana sejarah literasi kita zaman dulu. Harus diakui dengan penemuan candi Borobudur dan candi lain serta adanya prasasti, juga buku-buku kuno seperti Sutasoma, Arjuna Wiwaha, menunjukkan bahwa pada zaman kerajaan kuno dulu telah ada kemajuan dalam bidang literasi, baik mengenai simbul maupun tulisan.

DI zaman RA Kartini, juga membuktikan bahwa di masa penjajahan Belanda ditahun 1800 an beliau sudah mampu menuliskan surat-surat berisi curahan pemikiran dalam bahasa Belanda. Dan di masa awal kemerdekaan sekitar 14 maret 1948, dicanangkanlah program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) walau kondisi masih dalam keadaan darurat perang . Dalam pelaksanaan PBH yang darurat tersebut, ternyata kegiatannya dapat terlaksana di 18.663 tempat, dengan melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sementara itu penyelenggaraan secara swadaya juga dilakukan di sekitar 881 tempat dengan melibatkan 515 orang guru dan 33.626 murid. Setidaknya dari program tersebut dapat menekan angka 90% buta huruf menjadi 40%. ditahun 1960an. Selanjutnya itu , Persiden Sukarno kembali mengeluarkan komado: bahwa Indonesia harus terbebas dari buta-huruf hingga tahun 1964. Hasilnya luar biasa pada tahun 1964 sebagian besar penduduk Indonesia usia 13 – 45 menjadi melek aksara huruf.

Di masa perjuangan kemerdekaaan para negarawan kita seperti Sukarno Hatta membuktikan bahwa mereka seorang literat. Seorang yang rajin membaca, bahkan bisa dijuluki “kutu buku” sekaligus pandai menulis. Mereka juga selalu mengisi hari-harinya dengan membaca buku dan menulis walau pun di penjara.

Bung Hatta ketika dibuang ke Digul Merauke daerah pelosok sekali saat itu membawa berkoper-koper buku sebagai sahabat sejatinya. Bung Karno ketika di penjara Sukamiskin juga membaca dan menghasilkan karya Indonesia Menggugat. Begitu nyata contoh literasi terjadi saat itu.

Namun pada akhirnya harus diakui, ketika sampai sekarang terus dijalankan gerakan literasi dengan berbagai program,  kita masih menghadapi yang namanya rendahnya minat membaca.

Rendahnya minat  membaca ini berakibat malasnya orang mendalami informasi sekaligus menyuburkan adanya hoax di masyarakat. Hasil survey yang diumumkan tentang ucapan nitizen Indonesia saat ini dianggap paling kasar di dunia, boleh jadi ini salah satu sumbernya.

Dalam kondisi seperti itu Pemerintah saat ini menggalakkan GLS Gerakan Literasi Sekolah, Literasi Masyarakat melalui TBM, serta Literasi Keluarga. Dan untuk menghasilkan gerakan yang maksimal maka perlu dilakukan kerjasama yang baik antar semua pegiat literasi diberbagai sektor tersebut. Untuk itulah GLN lahir, mewadahi, mengkoordinasikan dan memberikan berbagai pedoman praktis untuk gerakan literasi di Indonesia.

Hasil studi PISA 2018 yang dirilis pada Selasa (3/12/2019) menunjukkan bahwa untuk kategori kemampuan Membaca, Indonesia berada pada peringkat peringkat ke-74 dari 79 negara. Untuk kategori Matematika, Indonesia berada di peringkat ke-73 dengan skor rata-rata 379. Pada bidang Sains, Indonesia berada di peringkat ke-71, yakni dengan rata-rata skor 396.

Penjelasan hasil survei PISA merinci bahwa di Indonesia hanya 30% peserta didik mencapai kemampuan level 2 dalam membaca, padahal rerata negara OECD adalah 77%. Untuk membaca di level 5, rerata negara OECD di 9% sedangkan Indonesia 0%

Pada bidang Matematka, hanya sekitar 28% saja anak Indonesia yang mencapai level 2, sementara rerata negara OECD adalah 76%. Pada level 5, rerata negara OECD berada pada angka 11%, sedangkan Indonesia hanya 1%. 

Untuk sains, jumlah siswa Indonesia yang mampu mencapai level 2 hanya 40%, jauh kalah dibandingkan rerata negara OECD yang berjumlah 78%. Tidak ada siswa Indonesia yang mencapai level 5, padahal rerata negara OECD mencapai 7%.

Dibandingkan dengan hasil survei 2015, capaian tersebut mengalami penurunan. Pada survei tersebut, secara berturut-turut skor Membaca, Matematika, dan Sains adalah 397, 386, dan 403. Tragisnya, skor untuk Membaca mengalami penurunan terendah, bahkan lebih rencah dari skor tahun 2012 yaitu 396.

Survei di atas memperlihatkan secara jelas posisi indeks literasi Indonesia di antara negara-negara berkembang. Namun lebih dari itu, data yang dihasilkanya sekaligus menerangkan kepada kita bahwa kemampuan ilmu-ilmu dasar peserta didik Indonesia sangat memprihatinkan. Bahkan untuk bidang kemampuan membaca (sebagai fondasi bagi literasi lain), anak-anak Indonesia masih cukup jauh tertinggal.  

Karena itu sebagai kesimpulan atas keadaan itu sebagai guru setidaknya mulai serius menggerakkan literasi sekolah (GLS) di tempat masing-masing dengan berbagai cara sesuai situasi dan kondisi. Fokuslah pada literasi dasar membaca, yang dikaitkan dengan menulis. Karena dari kegiatan ini jika dikerjakan serius akan mencakup literasi media ( seperti penggunaan HP) dan Numerasi seperti menjumlah halaman bacaan, dan literasi kewarganegaraan. Terpenting lagi bahwa muara literasi membaca adalah kebagusan budi pekerti. Berkata dan menulis pun menjadi terarah dan terukur, tidak suka hoax, dan tidak suka berkata dan menulis dengan bahasa kasar.  Semoga hal ini segera disadari oleh para guru kita. Aamiin.

Blitar, 26 Februari 2021

 

Oleh Hariyanto – Blitar

NPA PGRI 13170200445

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar