Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan GLN (Gerakan Literasi Nasional) pada
tahun 2016 sebagai induk gerakan literasi secara nasional untuk menyinergikan
berbagai program dan kegiatan lintas sektor.
GLN merupakan
bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23
Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pada tahun 2017 Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) ditunjuk sebagai koordinator GLN.
Banyak pembaca
yang tidak asing lagi dengan istilah Gerakan Literasi Nasional (GLN). Meskipun
demikian, tidak sedikit yang masih bertanya-tanya: apa sebenarnya GLN itu?
Maklum, istilah ini memang relatif baru.
Pertanyaannya mengapa baru tahun 2016 program GLN
diluncurkan. Bagaimana sejarah gerakan literasi kita zaman dulu ? Apa yang
menjadi latar belakang semua ini ?
Dalam buku
Panduan GLN mengutip beberapa data terkait. Data IPM yang dirilis Badan Program
Pembangunan PBB/United Nations Development Program (UNDP) misalnya menunjukkan
bahwa IPM Indonesia pada tahun 2013 hanya berada di peringkat 108 dari 187
negara; jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Survei lain tentang literasi yang
dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016 juga menempatkan
Indonesia dalam posisi cukup memprihatinkan, yaitu urutan ke-60 dari 61 negara.
Melengkapi
beberapa survei di atas, Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI)/Indonesia
National Assessment Programme (INAP) yang mengukur kemampuan membaca,
matematika, dan sains bagi anak sekolah dasar juga menghasilkan kesimpulan yang
menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia sangat lemah. Secara nasional,
yang berada pada kategori kurang perbidang adalah: matematika (77,13%; membaca
(46,83%); dan sains (73,61%).
Ini hasil-hasil
survey yang menyimpulkan bahwa negara kita masih harus kerja keras membenahi
literasi.
Bagaimana
sejarah literasi kita zaman dulu. Harus diakui dengan penemuan candi Borobudur
dan candi lain serta adanya prasasti, juga buku-buku kuno seperti Sutasoma,
Arjuna Wiwaha, menunjukkan bahwa pada zaman kerajaan kuno dulu telah ada
kemajuan dalam bidang literasi, baik mengenai simbul maupun tulisan.
DI zaman RA Kartini, juga membuktikan bahwa di masa
penjajahan Belanda ditahun 1800 an beliau sudah mampu menuliskan surat-surat
berisi curahan pemikiran dalam bahasa Belanda. Dan di masa awal kemerdekaan sekitar
14 maret 1948, dicanangkanlah program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) walau
kondisi masih dalam keadaan darurat perang . Dalam pelaksanaan PBH yang darurat
tersebut, ternyata kegiatannya dapat terlaksana di 18.663 tempat, dengan
melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sementara itu
penyelenggaraan secara swadaya juga dilakukan di sekitar 881 tempat dengan
melibatkan 515 orang guru dan 33.626 murid. Setidaknya dari program tersebut
dapat menekan angka 90% buta huruf menjadi 40%. ditahun 1960an. Selanjutnya itu
, Persiden Sukarno kembali mengeluarkan komado: bahwa Indonesia harus terbebas
dari buta-huruf hingga tahun 1964. Hasilnya luar biasa pada tahun 1964 sebagian
besar penduduk Indonesia usia 13 – 45 menjadi melek aksara huruf.
Di masa perjuangan kemerdekaaan para negarawan kita
seperti Sukarno Hatta membuktikan bahwa mereka seorang literat. Seorang yang
rajin membaca, bahkan bisa dijuluki “kutu buku” sekaligus pandai menulis.
Mereka juga selalu mengisi hari-harinya dengan membaca buku dan menulis walau
pun di penjara.
Bung Hatta ketika dibuang ke Digul Merauke daerah
pelosok sekali saat itu membawa berkoper-koper buku sebagai sahabat sejatinya.
Bung Karno ketika di penjara Sukamiskin juga membaca dan menghasilkan karya
Indonesia Menggugat. Begitu nyata contoh literasi terjadi saat itu.
Namun pada akhirnya harus diakui, ketika sampai
sekarang terus dijalankan gerakan literasi dengan berbagai program, kita masih menghadapi yang namanya rendahnya
minat membaca.
Rendahnya minat membaca ini berakibat malasnya orang
mendalami informasi sekaligus menyuburkan adanya hoax di masyarakat. Hasil
survey yang diumumkan tentang ucapan nitizen Indonesia saat ini dianggap paling
kasar di dunia, boleh jadi ini salah satu sumbernya.
Dalam kondisi seperti itu Pemerintah saat ini
menggalakkan GLS Gerakan Literasi Sekolah, Literasi Masyarakat melalui TBM,
serta Literasi Keluarga. Dan untuk menghasilkan gerakan yang maksimal maka
perlu dilakukan kerjasama yang baik antar semua pegiat literasi diberbagai
sektor tersebut. Untuk itulah GLN lahir, mewadahi, mengkoordinasikan dan
memberikan berbagai pedoman praktis untuk gerakan literasi di Indonesia.
Hasil studi PISA 2018 yang
dirilis pada Selasa (3/12/2019) menunjukkan bahwa untuk kategori kemampuan
Membaca, Indonesia berada pada peringkat peringkat ke-74 dari 79 negara. Untuk
kategori Matematika, Indonesia berada di peringkat ke-73 dengan skor rata-rata
379. Pada bidang Sains, Indonesia berada di peringkat ke-71, yakni dengan
rata-rata skor 396.
Penjelasan
hasil survei PISA merinci bahwa di Indonesia hanya 30% peserta didik mencapai
kemampuan level 2 dalam membaca, padahal rerata negara OECD adalah 77%. Untuk
membaca di level 5, rerata negara OECD di 9% sedangkan Indonesia 0%
Pada bidang
Matematka, hanya sekitar 28% saja anak Indonesia yang mencapai level 2,
sementara rerata negara OECD adalah 76%. Pada level 5, rerata negara OECD
berada pada angka 11%, sedangkan Indonesia hanya 1%.
Untuk sains,
jumlah siswa Indonesia yang mampu mencapai level 2 hanya 40%, jauh kalah
dibandingkan rerata negara OECD yang berjumlah 78%. Tidak ada siswa Indonesia
yang mencapai level 5, padahal rerata negara OECD mencapai 7%.
Dibandingkan
dengan hasil survei 2015, capaian tersebut mengalami penurunan. Pada survei
tersebut, secara berturut-turut skor Membaca, Matematika, dan Sains adalah 397,
386, dan 403. Tragisnya, skor untuk Membaca mengalami penurunan terendah,
bahkan lebih rencah dari skor tahun 2012 yaitu 396.
Survei di atas
memperlihatkan secara jelas posisi indeks literasi Indonesia di antara
negara-negara berkembang. Namun lebih dari itu, data yang dihasilkanya
sekaligus menerangkan kepada kita bahwa kemampuan ilmu-ilmu dasar peserta didik
Indonesia sangat memprihatinkan. Bahkan untuk bidang kemampuan membaca (sebagai
fondasi bagi literasi lain), anak-anak Indonesia masih cukup jauh tertinggal.
Karena itu sebagai kesimpulan atas keadaan itu sebagai
guru setidaknya mulai serius menggerakkan literasi sekolah (GLS) di tempat
masing-masing dengan berbagai cara sesuai situasi dan kondisi. Fokuslah pada
literasi dasar membaca, yang dikaitkan dengan menulis. Karena dari kegiatan ini
jika dikerjakan serius akan mencakup literasi media ( seperti penggunaan HP)
dan Numerasi seperti menjumlah halaman bacaan, dan literasi kewarganegaraan.
Terpenting lagi bahwa muara literasi membaca adalah kebagusan budi pekerti.
Berkata dan menulis pun menjadi terarah dan terukur, tidak suka hoax, dan tidak
suka berkata dan menulis dengan bahasa kasar.
Semoga hal ini segera disadari oleh para guru kita. Aamiin.
Blitar, 26 Februari 2021
Oleh Hariyanto – Blitar
NPA PGRI 13170200445
Tidak ada komentar:
Posting Komentar