Ketika di
masa penjajahan Belanda atau Jepang dulu orang berjuang melawan para penjejah
dengan senjata, gugur satu tumbuh seribu. Mereka yang gugur pun menjadi
pahlawan. Baik yang dikenal maupun tidak dikenal namanya. Maka sebenarnya
pahlawan itu pun terus bermunculan tidak harus dimasa penjajahan, dan mereka
pun gugur satu persatu dalam perjuangannya.
Begitulah
kisah itu tampak sekali di masa Pandemi Covid 19 ini. Wabah yang melanda
memberi kisah tersendiri. Mereka yang sakit lalu wafat meninggalkan segalanya,
bukan hanya harta dan atributnya. Pangkat dan kedudukannya namun juga sanak
keluarganya.
Seolah
semua cepat berlalu, sekejap dan
menghilang. Sebuah peti di dalam ambulans tidak boleh dikeluarkan, berhenti
sejenak, beberapa orang berdiri melepaskannya dengan sholat jenazah yang cepat
sekali. Begitu salam selesai airmata panas mengalir deras. Di belakang
tangisan anak isterinya pecah melihat
mobil ambulans itu pergi. Seorang pahlawan bagi keluarganya telah pergi. Aku tercenung
, menatap ambulan pergi menuju makam. Seorang ustadz, seorang juragan kaya,
sampai seorang bupati. Seorang guru, perawat bahkan dokter. Bahkan prajurit
kekar menjabat Kepala Dandim juga seperti itu beberapa hari kemarin, dengan protokol
kesehatan. Menghadap ilahi.
@
hariyanto
Blitar,
10 Maret 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar