Ini mungkin
pertanyaan yang sulit dijawab ? Masalahnya bisa jadi karena kita belum
sepenuhnya melaksanakan kegiatan literasi dengan sebenarnya. Boleh jadi selama
ini kata literasi hanya ada dijadwal pelajaran saja. Atau karena konsepnya
terlalu luas sehingga sulit menjawabnya
Sebenarnya
sudah banyak pedoman Literasi sekolah yang bisa kita dapatkan melalui web GLN
kemndikbud. Bahkan disediakan bacaan dalam bentuk digital untuk siswa dan orang
tua. Pedoman GLS dan GLN cukup lengkap.
Secara
garis besar sekolah literat bisa dilihat dari tampilan fisik dan akademiknya. Dalam
tampilan sekolah secara
fisik akan terlihat (1) karya peserta didik dipajang di
sepanjang lingkungan sekolah, (2) karya peserta didik dirotasi secara berkala,
(3) buku dan materi bacaan lain tersedia di sudut baca semua ruang kelas, (4)
buku dan materi lain tersedia untuk peserta didik dan orang tua, (5) kantor
kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk peserta
didik, (6) kepala sekolah bersedia berdialog dengan warga sekolah dan
lingkungan sekitar sekolah.
Sedangkan secara lingkungan akademik (1) disediakan
waktu khusus dan cukup banyak agar terwujud pembiasaan literasi, (2) waktu
kegiatan literasi terjaga agar tidak terbuang untuk kepentingan lain, (3)
disepakati waktu berkala membahas pelaksanaan GLS, (4) buku fiksi dan nonfiksi
tersedia dalam jumlah cukup banyak, (5) ada buku wajib baca untuk warga
sekolah, (6) ada kesempatan mengembangkan profesional tentang literasi untuk
staf, (7) seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi.
Nah,
berdasarkan uraian tersebut, ternyata gerakan literasi sekolah dapat berjalan
dengan baik jika ada keterlibatan peserta didik, guru, staf, kepala sekolah,
orang tua dan masyarakat. Sekolah tak akan mampu melaksanakan budaya baca di
sekolahnya jika tak ada kesinergian kegiatannya dan dukungan dari pelaku
literasi lainnya. Ketika dihadapkan pada suatau keadaan bahwa peserta didik
harus terbiasa membaca dan ada output hasil membacanya, maka yang terbersit
dalam pemikiran adalah membiasakan peserta didik untuk membaca di rumah,
selanjutnya membaca di sekolah.
Jika sudah
terbentuk kebiasaan membaca, maka secara tidak langsung literasi sudah berjalan
dengan baik. Tolok ukurnya adalah adanya perilaku senang membaca dan menulis untuk
menghasilkan sebuah karya tulis. Karya tulis yang diharapkan bukan hanya karya
tulis literasi sastra saja, namun meliputi berbagai disiplin ilmu yang dimiliki
peserta didik. Hal inilah yang perlu digarisbawahi. Jangan berhenti pada
kegiatan membaca saja. Apalagi membaca dalam artian mengeja tanpa diiringi
pemahaman atas isi dari bacaan .
Jika
literasi gambar yang dimiliki peserta didik, maka peserta didik akan
menghasilkan gambar yang bisa dipajang, dikliping, atau dikumpulkan jadi sebuah
buku kumpulan gambar. Begitu juga, jika lierasi sejarah yang dikembangkan oleh
peserta didik, maka peserta didik akan menghasilkan sebuah kisah sejarah di
daerahnya atau di luar daerahnya bisa dalam bentuk artikel, buku, maupun
kliping. Intinya literasi itu cakupan materinya amat luas dan tidak
mengkotak-kotak pengetahuan pelaksana literasi.Dengan demikian kita tidak boleh
berhenti pada kegiatan membaca saja. Kelanjutan dari membaca itu justeru lebih
banyak ragam dan jenisnya. Justeru itulah tantangannya.
Untuk
memantapkan kegiatan gerakan literasi di sekolah, perlu dibentuk tim literasi
sekolah (TLS). Tim ini hendaknya memiliki tujuan yang jelas dan terprogram
dengan tepat sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah dan warga sekolahnya.
Selanjutnya tugasnya adalah mengawal program 15 menit membaca setiap hari,
monitoring dan evaluasi internal, membangun jejaring dengan pihak
eksternal, melibatkan publik dalam GLS, membangun sudut kelas, melaksanakan
asesmen tiap minggu serta melaksanakan evaluasi tiap semester. Untuk itu kepala
sekolah diharapkan mampu membentuk dan memilih guru yang dianggap dapat
menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah, menetapkan TLS dan memberi
kesempatan personel TLS untuk mengikuti pelatihan.
Berdasarkan
uraian tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah suasana kelas yang
mencerminkan budaya literasi? Budaya lierasi di kelas dikatakan berjalan baik
jika kelas memiliki sudut baca yang memiliki koleksi buku sesuai dengan
kemampuan pengetahuan peserta diidk. Koleksi buku dapat berasal dari karya peserta didik sendiri maupun koleksi perpustakaan.
Selain
sudut baca di kelas, sekolah juga memiliki sudut baca di sekolah yang dapat
dibuat di kebun sekolah, kantin sekolah, koridor, area tunggu orang tua maupun
area yang lain. Sudut baca ini dapat dibuat dalam kondisi aman, menyenangkan
yang dilengkapi dengan meja, kursi dan atap. Sedangkan koleksi buku dapat
disimpan di gerobak buku atau rak beroda agar dapat dipindahkan dengan leluasa.
Selanjutnya
untuk mengisi sudut baca di kelas maupun di sekolah ada tips untuk memilih buku
bacaan yang baik di antaranya identitas buku tepat, materi dan kualitas cetak
buku terbaca dengan baik dan buku tidak mudah rusak, cerita pada buku fiksi
dikemas dalam cerita yang menarik dan penuh dengan pesan moral dan bersifat
multikultural, buku nonfiksi berasal dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan serta isinya sesuai sasaran pembaca, bahasa buku
menggunakan bahasa baku yang mudah dipahami, ilustrasi buku dibuat yang menarik
dan tidak melecehkan kelompok tertentu serta dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika
dihadapkan pada pertanyaan bagaimanakah membiasakan peserta didik untuk
membaca? Maka jawaban yang muncul adalah kegiatan tersebut bisa dilakukan
melalui tahap pembiasaan. Tahap pembiasaan yang dapat dilakukan adalah
membiasakan membaca 15 menit setiap hari, namun guru tak perlu memberikan
pertanyaan tiap hari, kegiatan bertanya tentang isi buku dapat dilakukan
misalnya 2-3 minggu sekali dengan tanpa paksaan sedangkan guru dapat memberikan
apresiasi atas jawaban peserta didik. Namun hal ini relaltif. Bagi penulis
justeru penting memberikan pertanyaan kepada setiap siswaa setelah selesai
membaca dan menuliskannya. Dalam tahap pembiasaan memang tidak perlu pertanyaan
sulit. Tetapi jurnal untuk membuktikan siswa itu sudak membaca meliputi nama,
kelas, absensi, judul buku, halaman awal, halaman akhir, jumlah halaman. Pertanyaan
demikian itu bisa memberikan motiviasi bagi siswa. Apalagi TIM GLS kreatif
dengan memberikan apresiasi bagi siswa yang rajin membaca.
Cara yang
kedua adalah tahap pengembangan, guru dapat menggunakan tabel atau peta cerita
sebagai kegiatan tindak lanjut yang tanpa melalui penilaian akademik,
selanjutnya peserta didik dapat mengomunikasikan secara lisan tentang isi peta
tersebut dan hal ini dapat digunakan sebagai penilaian nonakademik. Tahap
selanjutnya adalah tahap pembelajaran, peserta didik sudah terbiasa dan
rutinitas melaksanakan kegiatan membaca 15 menit, daftar pertanyaan dan peta
cerita dapat dikembangkan menjadi bagian pembelajaran bahasa dan menjadi
tagihan akademik.
Untuk
mendukung upaya pembiasaan positif ini, maka peserta didik diharapkan mampu
memahami isi buku. Pemahaman isi buku ini dapat dicapai jika peserta didik
mampu mengembangkan model membaca yang menjadi ciri khasnya.
Ada 4 cara
membaca yang perlu dikembangkan yaitu membaca nyaring, membaca nyaring
bertujuan mengembangkan literasi bunyi, kalimat dan gambar, mendemonstrasikan
membaca sesuai konteks bacaan, membina minat baca, mendiskusikan buku
bersama-sama, dengan media buku cerita yang bermateri variatif dilengkapi
daftar pertanyaan.
Selanjutnya
adalah membaca
terpandu, membaca ini bertujuan menjadikan peserta didik lancar
dan terampil membaca nyaring yang diharapkan mampu meningkatkan peserta didik
dalam membaca melalui diskusi.
Media yang
digunakan adalah buku bacaan dan alat bantu belajar khusus untuk belajar
membaca (kartu kosa kata, kosakata bergambar, alat tulis).
Selanjutnya
adalah membaca
bersama. Membaca bersama ini dilakukan dengan cara, guru
membacakan buku untuk peserta didik dengan nyaring dengan menggunakan buku
besar atau teks yang dibuat besar agar terbaca oleh semua peserta didik.
Tujuannya adalah membaca interaktif melalui demonstratsi membaca oleh guru,
meningkatkan kelancaran membaca, membuat peserta didik belajar konsep membaca
dan merasakan dirinya sebagai pembaca. Media yang digunakan adalah buku besar
dengan topik berjenjang, kartu kosa kata, alat tunjuk bacaan.
Cara
selanjutnya adalah membaca
mandiri, dengan membaca mandiri peserta didik memilih bacaan
sendiri sesuai dengan minat dan kemampuannya. Tujuan dari membaca mandiri
adalah menumbuhkan minat membaca, meningkatkan kemampuan membaca, serta
membangun ekosistem sekolah untuk gemar membaca. Media yang digunakan adalah
buku bacaan dengan topik variatif, majalah, koran yang sesuai dengan jenjang
kemampuan peserta didik.
Nah,
pembaca yang budiman, dari uraian tersebut, maka kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa apakah sekolah kita sudah berbudaya berliterasi, sekolah kita
sedang berliterasi atau bahkan sekolah kita belum berliterasi.
Semoga
bermanfaat. Aamiin..
Blitar, 6
Maret 2021
Sumber :
Guru Berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar